Kamis, 28 Juli 2011

BIOGRAFI KIAI HAJI MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID

i
1 Vote
Quantcast

Almagfurulah TGKH. Muhammad Zainuddin Amdul Majid

KELAHIRAN, KELUARGA DAN SILSILAH KETURUNANNYA

Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1324 H (1906 M). Nama kecil beliau Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti adalah ayah beliau sendiri, yaitu Haji Abdul Majid. Nama itu diambil dari nama seorang ulama’ besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlaq dan kepribadiannya sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Serawak. Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan Hajjah Halimatus Sa’diyah. Beliau bersaudara kandung lima orang, yaitu : Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah. Ayahandanya yang terkenal dengan panggilan “Guru Mu’minah” itu adalah seorang muballig dan terkenal pemberani, pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah; sedangkan ibundanya terkenal sangat shaleh.

Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Karena itu, tidak mengherankan kalau ayah-bundanya memberikan perhatian khusus dan menumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau. Ketika beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke tanah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, Bahkan ibundanya, Hajjah Halimatussa’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu berpulang ke Rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu’alla Makkah.

Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh, karena dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas bahwa silsilah keturunan beliau adalah dari garis yang terpandang, yaitu dari keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.

Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid di dalam perkawinannya sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul, padahal beliau sendiri sangat menginginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah melalui organisasi Nahdlatul Wathan yang beliau dirikan. Beliau hanya dianugrahi dua orang anak dan keduanya putri, yaitu :

1. Hajjah Siti Rauhun dari Ummi Jauhariyah

2. Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatulloh.

Karena hanya mempunyai dua anak itulah, beliau juga dipanggil dengan nama “Abu Rauhun wa Raihanun”.

PENDIDIKANNYA

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, sebelum melanjutkan studinya ke tanah suci Makkah, beliau menamatkan pelajarannya di Sekolah Rakyat 4 tahun di Selong Lombok Timur pada tahun 1919 M, dan belajar agama Islam pada ayahandanya TGH Abdul Majid, TGH Syarafuddin Pancor dan TGH Abdullah bin Amaq Dulaji Kelayu Lombok Timur. Setelah berusia 17 tahun, yaitu pada tahun 1341 H/1923 M, berangkatlah beliau ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, memperdalam berbagai macam disiplin pengetahuan Islam. Beliau berangkat bersama keluarga beliau, dan belajar di tanah suci selama 12 tahun.

Di kota suci Makkah Al Mukarramah, mula-mula beliau belajar di Masjidil Haram. Ayahandanya sangat selektif dalam mencari dan menentukan guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya yakin bahwa guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi panutan bagi murid dalam pola berpikir dan berperilaku dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.

Di Masjidil Haram beliau belajar sangat tekun pada ulama’-ulama’ terkenal zaman itu. Kemudian pada tahun 1928 beliau melanjutkan studinya di Madrasah Ash-Shaulatiyah yang pada saat itu dipimpin oleh Syaikh Salim Rahmatullah putra syaikh Rahmatullah, pendiri madrasah Ash-Shaulatiyah. Madrasah ini adalah madrasah pertama di tanah suci, dan telah banyak menghasilkan ulama’-ulama’ besar. Di Madrasah Ash-Shaulatiyah inilah, beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota suci Makkah waktu itu.

Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang ulama’ besar kota suci Makkah, teman sekelas beliau mengatakan : “Saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin. Saya bergaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum kepadanya. Dia sangat cerdas, akhlaqnya mulia. Dia sangat tekun belajar, sampai-sampai jam keluar main pun diisinya dengan menekuni kitab pelajaran dan berdiskusi dengan kawan-kawannya”.

Karena ditunjang oleh kondisi ekonomi yang memadai tingkat kecerdasan (IQ) yang sangat tinggi, ketekunan dalam belajar, garis silsilah keturunan yang terpandang, kasih sayang serta keikhlasan kedua orang tua dan doa restu dari para gurunya, maka beliau memperoleh prestasi yang sangat mengagumkan, sehingga berhasil dengan gemilang menyelesaikan studinya di Madrasah Ash-Syaulatiyah pada tahun 1352 H, dengan predikat sangat memuaskan Kenyataan ini tertera dalam Ijazah beliau yang khusus ditulis tangan, berbeda dengan Ijazah yang diberikan kepada kawan-kawan beliau. Nilai beliau sangat memuaskan, dengan angka semua 10 (sepuluh) pada semua mata pelajaran yang beliau tempuh, disamping diberikan tanda bintang, sebagai penghargaan atas prestasi dan keberhasilannya yang mengagumkan itu.

Keberhasilan beliau meraih prestasi yang tinggi ini pulalah yang menyebabkan beliau mendapat banyak pujian baik dari mahagurunya sendiri maupun dari kawan-kawan yang seangkatan dengan beliau dan ulama’-ulama’ terkemuka lainnya.

Pujian itu, antara lain disampaikan oleh salah seorang mahagurunya, Al “allamah Al Adib Asy-Syaikh As-Sayyid Muhammad Amin Al Kutbi, mahaguru yang memberikan kasih sayang cukup besar kepada muridnya yang genius ini. Pujian tersebut diungkapkan dengan syair berbahasa Arab yang maksudnya :

Demi Allah, saya kagum pada Zainuddin

kagum pada kelebihannya atas orang lain

pada kebesarannya yang tinggi

dan kecerdasannya yang tiada tertandingi

Jasanya semerbak di mana-mana

menunjukkan satu-satunya permata

yang tersimpan pada moyangnya

Buah tangannya indah lagi menawan

penaka bunga-bungaan

yang tumbuh teratur di lereng pegunungan

Demikian pula pujian yang disampaikan oleh maha gurunya yang lain, yaitu Al ‘Allamah Asy-Syaikh Salim Rahmatullah, mudir (direktur) Madrasah Ash-Shaulatiyah dengan ucapannya : “Madrasah Ash-Shaulatiyah tidak perlu memiliki murid banyak, cukup satu orang saja, asalkan memiliki prestasi dan kualitas seperti Zainuddin”.

Sedangkan pujian dari kawan sekelasnya diberikan oleh Syaikh Zakaria Abdullah Bila. Beliau mengatakan :

“Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, kawan sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi, di kala saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah Ash-Shaulatiyah Makkah. Saya sungguh menyadari akan hal ini. Syaikh Zainuddin adalah manusia ajaib dikelasku karena kegeniusannya yang sangat tinggi. Syaikh Zainuddin adalah ulama’ dan mujahid (pejuang) agama, nusa dan bangsanya. Saya tahu, telah berapa banyak otak manusia diukirnya, telah berapa banyak kader penerus agama, nusa bangsa yang dihasilkannya. Saya tahu, dia adalah mukhlis (orang ikhlas) dalam berjuang menegakkan iman dan taqwa di negerinya, rela berkorban, cita-citanya luhur. Dia memiliki kelebihan di kalangan teman-teman segenerasinya. Kelebihan yang dia miliki selain yang saya sebutkan tadi, yaitu dia selalu mendapat doa restu dari guru-guru kami, ulama’-ulama’ besar di tanah suci Makkah Al Mukarramah, utamanya Maulanasy Syaikh Hasan Muhammad Al Masysyath”.

Pujian Syaikh Zakaria Abdullah Bila seperti di atas, dikuatkan lagi oleh mahagurunya yang paling dicintai dan paling banyak memberikan doa dan inspirasi dalam perjuangannya, yaitu Maulanasy Syaikh Hasan Muhammad Al Masysyath, dengan ucapan beliau : “Saya tidak akan berdoa ke hadlirat Allah S.W.T. kecuali kalau Zainuddin itu, sudah nampak jelas di depanku dan bersamaku”. Beliau juga mengatakan bahwa beliau mencintai setiap orang yang cinta kepada Syaikh Zainuddin dan tidak mencintai orang yang tidak cinta kepada beliau.

Syaikh Isma’il Zain Al Yamani, seorang ulama’ besar kota suci Makkah Al Mukarramah, sangat kagum kepada Syaikh Zainuddin, kagum kepada ketinggian ilmu dan keberhasilan perjuangan beliau. Dengan penuh keikhlasan ulama’ besar kota suci itu mengatakan bahwa beliau mencintai siapa saja yang cinta kepada Syaikh Zainuddin dan membenci siapa saja yang benci kepada beliau.

Fadlilatul “Allamah Prof. Dr. Sayyid Muhammad “Alawi “Abbas Al Maliki Al Makki, seorang ulama’ terkemuka kota suci Makkah pernah mengatakan bahwa tak ada seorang pun ahli ilmu di tanah suci Makkah AlMukarramah baik thullab maupun ulama’ yang tidak kenal akan kehebatan dan ketinggian ilmu Syaikh Zainuddin. Syaikh Zainuddin adalah ulama’ besar bukan hanya milik ummat Islam Indonesia tetapi juga milik ummat Islam sedunia.

Demikianlah pujian yang telah diberikan secara ikhlas dan jujur baik oleh kawan seperguruan beliau maupun mahaguru dan ulama-ulama lainnya Walillahil hamdu.

KARYA-KARYANYA

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain tergolong tokoh ulama’ dengan bobot keilmuan yang dalam, beliau juga penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini, tumbuh dan berkembang dari sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah. Akan tetapi karena padat dan banyaknya acara kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus diisi beliau, maka peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan dan karangannya tampaknya tidak pernah ada.

Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan, beliau mengungkapkan keadaan seperti ini kepada muridnya, bila mana beliau teringat pada kawan seperjuangannya di Madrasah Ash Shaulatiyah Makkah yang juga telah tergolong ulama’ besar dan pengarang terkenal seperti Maulanasy Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Maulanasy Syaikh Yasin Padang dan lain-lain. Mereka sekarang ini memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis dan karang-mengarang.

Akan tetapi TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pemah berkecil hati, walaupun kawan seperguruannya menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini, karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di pihak lain. Beliau pernah mengatakan “Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang telah dimiliki Syaikh Zakaria Abdullah Bila, Syaikh Yasin Padang, Syaikh Ismail dan ulama’-ulama’ lain tamatan Madrasah Asy Shaulatiyah Makkah”.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid sekarang ini, tampaknya memang tidak cukup waktu dan kesempatan untuk mengarang dan menulis, karena sebagian besar dan bahkan seluruh waktu dan kehidupan beliau hanya dipakai dan dimanfaatkan untuk mengajar dan terus mengajar, berdakwah keliling untuk membina ummat dalam upaya menanamkan iman dan taqwa.

Bertitik pangkal dari jiwa dan semangat kelahiran Nahdatul Wathan yang selalu bermuara pada iman dan taqwa, beliau dengan semangat yang tak kunjung padam menghabiskan waktunya berjuang untuk kepentingan ummat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri “Aku wakafkan diriku untuk ummat”.

Kendatipun demikian, di tengah-tengah kesibukan itu beliau masih menyempatkan diri untuk mencoba mengembangkan bakat dan kemampuannya. Bagi beliau, mengarang dan tulis menulis, bukanlah suatu tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan bakat dan kemampuan dasar yang dianugrahkan Allah kepada beliau. Bakat dan kemampuan dasar inilah yang terus tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Ash Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak mengherankan kalau beliau mendapat pujian dari salah seorang maha gurunya, seorang penyair dan pujangga besar Arab, yaitu Maulanasy Syaikh As Sayyid Muhammad Amin Al Kutbi yang sudah dikemukakan pada uraian yang terdahulu.

Di antara Karya Tulis dan Karangan beliau adalah :

Dalam Bahasa Arab

1. Risalatut Tauhid dalam bentuk soal jawab (Ilmu Tauhid)

2. Sullamul Hija Syarah Safinatun Naja (Ilmu Fiqih)

3. Nahdlatuz Zainiyah dalam bentuk nadham (Ilmu Faraidl)

4. At Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah (Ilmu Faraidl)

5. Al Fawakihul Ampenaniyah dalam bentuk soal jawab (Ilmu Faraidl)

6. Mi’rajush Shibyan ila Sama-i Ilmil Bayan (Ilmu Balaghah)

7. An Nafahat ‘alat Taqriratis Saniyah (Ilmu Mushtalahul Hadits)

8. Nailul Anfal (Ilmu Tajwid)

9. Hizbu Nahdlatul Wathan (Do’a dan Wirid)

10. Hizbu Nahdlatul Banat (Do’a dan Wirid kaum wanita)

11. Shalawat Nahdlatain (Shalawat Iftitah dan Khatimah

12. Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)

13. Ikhtisar Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)

14. Shalawat Nahdlatul Wathan (Shalawat iftitah)

15. Shalawat Miftahi Babi Rahmatillah (Wirid dan do’a)

16. Shalawat Mab’utsi Rahmatan lil “Alamin (Wirid dan do’a)

17. Dan lain-lainnya.

Dalam Bahasa Indonesia dan Sasak

1. Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)

2. Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)

3. Wasiat Renungan Masa I & II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga NW)

C. Nasyid/Lagu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab, Indonesia dan Sasak

1. Ta’sis NWDI (Anti ya Pancor biladi)

2. Imamunasy Syafl’i

3. Ya Fata Sasak

4. Ahlan bi wafdizzairin

5. Tanawwar

6. Mars Nahdlatul Wathan

7. Bersatulah Haluan

8. Nahdlatain

9. Pacu gama’

10. Dan lain-lainnya.

PERJUANGAN DAN KEPEMIMPINANNYA

Keberhasilan perjuangan seseorang tokoh atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola kepemimpinannya. Kearifan seseorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya akan menentukan keberhasilan perjuangannya. Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling kait, karena perjuangan itu akan berhasil baik, apabila pola pendekatan yang digunakan dalam kepemimpinan itu baik, dan kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan melahirkan keberhasilan perjuangan.

Dalam bagian ini akan dikemukakan tentang perjuangan yang dilakukan Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menegakkan agama, serta membangun nusa dan bangsa, dan bagaimana pola pendekatan dan type kepemimpinan beliau.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain menjadi tokoh pendidikan dan tokoh ulama’ juga pejuang agama, nusa dan bangsa dengan semangat dan militansi yang tidak pernah pudar. Beliau adalah perintis kemerdekaan di NTB dengan gerakan “Al Mujahidinnya” yang bergabung dengan gerakan-gerakan rakyat pembela kemerdekaan lainnya.

Pejuang dan Perintis Kemerdekaan dalam perjuangan membebaskan bangsa dan rakyat Indonesia dari cengkeraman penjajah Belanda dan Jepang Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid menjadikan Madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan. Jiwa perjuangan, patriotisme dan semangat pantang menyerah tetap beliau kobarkan di dada para murid dan santri serta guru-guru Madrasah NWDI dan NBDI. Karena itu, tidak mengherankan kalau kedua bangsa penjajah itu selalu berusaha untuk menutup dan membubarkan Madrasah NWDI dan NBDI.

Pada zaman penjajahan Jepang, Tuan Guru Kiai Muhammad Zainuddin Abdul Majid berkali-kali dipanggil untuk segera menutup dan membubarkan kedua madrasah tersebut, dengan alasan bahwa kedua madrasah ini digunakan sebagai tempat menyusun taktik dan strategi untuk menghadapi bangsa penjajah tersebut, disamping dianggap sebagai wadah yang berindikasi bangsa asing, karena diajarkannya Bahasa Arab dikedua madrasah ini.

Kepada Pemerintah Pascis Jepang beliau mengemukakan beberapa penjelasan. Di antaranya bahwa Bahasa Arab adalah bahasa Al Qur’an, bahasa Islam dan bahasa Umat Islam, bahasa yang dipakai dalam melaksanakan ibadah. Ibadah Ummat Islam menjadi rusak kalau tidak menggunakan Bahasa Arab. Itulah sebabnya Bahasa Arab diajarkan di Madrasah NWDI dan NBDI. Dikedua Madrasah ini juga dididik calon-calon “Penghulu dan Imam”, yang sangat diperlukan untuk mengurus dan mengatur peribadatan dan perkawinan ummat Islam.

Setelah mendengar penjelasan beliau, segeralah Pemerintah Jepang yang ada di Pulau Lombok mengirim laporan ke pihak atasannya di Singaraja Bali. Tidak lama kemudian terbitlah surat keputusan di Singaraja dalam bentuk surat kawat, yang berisi antara lain bahwa Madrasah NWDI dan NBDI dibenarkan untuk tetap dibuka dengan ketentuan supaya nama madrasah ini diubah menjadi “Sekolah Penghulu dan Imam”.

Kemudian sesudah beberapa bulan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, mendaratlah tentara NICA di Pulau Lombok. NICA adalah singkatan dari Netherlands Indies Civil Administrations, yaitu Pemerintah Sipil Belanda yang tergabung dalam Angkatan Bersenjata Negara-negara Sekutu di masa Perang Dunia II.

Kebiadaban dan keganasan tentara NICA yang sangat terkenal itu menimbulkan kemarahan Bangsa Indonesia, sehingga Bangsa Indonesia bangkit dan melakukan perlawanan di mana-mana. Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid bersama murid, santri dan guru-guru Madrasah NWDI dan NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi nama “Gerakan Al Mujahidin”. Gerakan Al Mujahidin ini selanjutnya bergabung dengan gerakan rakyat pembela kemerdekaan Indonesia yang ada di Pulau Lombok seperti Gerakan Banteng Hitam, Gerakan Bambu Runcing, BKR, Api dan lain-lainnya untuk bersama-sama membela dan mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan bangsa Indonesia.

Dalam pada itu, akibat dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan pengkhianat-pengkhianat bangsa dan negara yang berjiwa budak dan menjadi kaki tangan NICA, Madrasah NWDI dan NBDI diblacklist sebagai markas gelap yang menentang penjajah. Beberapa orang guru NWDI dan NBDI ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Di antaranya TGH Ahmad Rifa’i Abdul Majid (adik kandung TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid) dipenjarakan di Ambon Maluku, TGH Muhammad Yusi Muhsin Aminullah dipenjarakan di Praya Lombok Tengah dan beberapa orang lainnya dikirim ke penjara di Bali. Di samping itu, dalam suatu sidang resmi yang diadakan NICA, Madrasah NWDI dan NBDI diputuskan untuk ditutup. Namun sebelum keputusan itu sempat dilaksanakan, terjadilah peristiwa 8 Juni 1946, yaitu penyerbuan Tangsi Militer NICA di Selong di bawah pimpinan adik kandung Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, yaitu TGH Muhammad Faishal Abdul Majid. Dalam peristiwa ini gugurlah TGH Muhammad Faishal Abdul Majid dan dua orang santri yaitu Sayyid Muhammad Shaleh dan Abdullah sebagai Syuhada’ kesuma bangsa yang menjadi pencipta dan penghias Taman Makam Pahlawan Rinjani Selong{ Lombok Timur). Dengan terjadinya peristiwa 8 Juni 1946 tersebut keputusan NICA untuk menutup Madrasah NWDI dai NBDI tidak jadi dilaksanakan. Akan tetapi ancaman dan intimidasi dari pihak NICA bersama kaki tangannya semakin gencar dan langsung ditujukan kepada pribadi Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majic namun berkat perlindungan dan pertolongan Allah SWT, semua perbuatan biadab itu gagal total, sesuai dengan penegasan Allah Swt di dalam Al Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 54:

ومكروا ومكرالله والله خيرالماكرين

Artinya : “Mereka membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.

Di dalam menghadapi setiap ancaman dan tantangan yang datang bertubi-tubi itu, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid sebagai pejuang tidak pernah gentar dan tidak pernah mundur walaupun setapak dari gelanggang perjuangan. Beliau tetap tegak dan tegar dengan semangat yang berkobar-kobar.

PENCETUS DAN PELOPOR SISTEM SEKOLAH/MADRASAH DI NTB

Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain beliau dikenal sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan, juga dikenal sebagai inovator (tokoh pembaharu) dalam bidang pendidikan, utamanya di Nusa Tenggara Barat.

Sesudah beliau kembali ke Indonesia yaitu setelah menamatkan studinya di Madrasah Ash Shaulatiyah Makkah tahun 1934 M/1352 H, mula-mula beliau mendirikan Pesantren Al Mujahidin (1934 M) kemudian pada tahun 1936 beliau mendirikan Madrasah NWDI.

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi beliau mendirikan Madrasah/sekolah yaitu keadaan umum ummat Islam yang terbelakang dan berada dalam kebodohan dan sistem pendidikan halaqah dan pengajian tradisional yang sejak lama berkembang di Pulau Lombok khususnya dianggapnya kurang efektif dan efesien untuk memajukan masyarakat dalam bidang agama dan ilmu pengetahuan.

Keadaan inilah yang mendorong beliau berupaya mendirikan lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah sebagai tempat memperdalam pengetahuan agama dan umum serta meningkatkan mutu pendidikan, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berkemampuan tinggi dan memiliki semangat perjuangan yang dilandasi iman dan taqwa. Dasar pertimbangan lainnya yang mendasari beliau mendirikan madrasah yaitu pendapat beliau bahwa mengembangkan Islam melalui pendidikan adalah fardlu ‘ain dan mendidik masyarakat utamanya dalam bidang agama adalah tugas mulia. Karena dengan pendidikan lahirlah manusia yang mampu mengembangkan diri dan keluarga serta masyarakat bangsanya.

Kendati pun beliau mendapat reaksi dari masyarakat atas perjuangannya yang mulia ini, akan tetapi sebagai pejuang, beliau tetap tenang dan tegar menghadapi segala macam rintangan dan cobaan. Beliau berprinsip bahwa “Seorang pejuang harus rela berkorban, karena perjuangan adalah pengorbanan. Seorang pejuang hendaklah dapat menempatkan diri sebagai figur yang tidak takut terhadap ancaman dan caci maki orang”.

Karena ketekunan beliau dalam bidang pendidikan dengan bantuan do’a dari para mahagurunya serta bantuan tenaga dari santri dan jemaahnya, maka madrasah/ sekolah Nahdatul Wathan tumbuh dan berkembang sampai dengan Perguruan Tinggi.

KEPEMIMPINANNYA

Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dikenal sebagai ulama’ besar di Indonesia karena ilmu yang dimiliki beliau luas dan mendalam. Demikian pula kharisma beliau sebagai sosok figur ulama’ demikian besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat berpengaruh karena kearifan dan kebijaksanaannya. Perjuangan dan kepemimpinan beliau senantiasa diarahkan untuk kepentingan ummat. Penghargaan dan penghormatan yang beliau berikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya, terutama kepada guru-guru beliau, diujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada ummat.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa penghargaan beliau kepada mahagurunya yang paling dicintai dan disayangi, Maulanasy Syaikh Hasan Muhammad Al Masysyath diujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Hasaniyah NW di Jenggik Lombok Timur, penghargaan untuk mahagurunya Maulanasy Syaikh Sayyid Muhammad Amin Al Kutbi diujudkan dalam bentuk Pondok Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan untuk mahagurunya Maulanasy Syaikh Salim Rahmatullah beliau sudah rencanakan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di Lombok Barat.

Pola kepemimpinan yang beliau contohkan di atas hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pimpinan yang memiliki kearifan dan kebijaksanaan.

Demikian pula tentang pendekatan yang beliau lakukan selalu bernilai paedagogis dalam artian bersifat mendidik. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai pembesar yang disegani. Beliau selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-tengah jama’ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan mereka. Demikian pula halnya di kala beliau memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan kondisi dan jangkauan alam flkiran murid dan santrinya.

Pembawaan dan sikap hidup beliau yang selalu menunjukkan kesederhanaan inilah yang membuat beliau selalu dekat dengan para warganya dan muridnya dengan tidak mengurangi kewibawaan dan kharisma yang beliau miliki. Keluhan dan rintihan yang disampaikan para muidnya ditampung, didengar dan dicarikan jalan penyelesaian dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan, dengan tidak merugikan salah satu pihak.

Untuk melanjutkan gerak juang Nahdlatul Wathan di masa datang, beliau sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun dari segi bobot keilmuan. Dalam banyak kesempatan beliau sering menyampaikan keinginannya, agar murid dan santri beliau memiliki ilmu pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lebih tinggi dari pada ilmu pengetahuan yang dimiliki beliau. Demikian motivasi yang selalu beliau kumandangkan, agar para murid dan santri beliau lebih tekun dan berpacu dalam memperdalam ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar negeri.

Dalam menghadapi dan menerima para santri dan muridnya, beliau tidak pernah membeda-bedakan yang satu dengan lainnya. Semua murid dan santrinya diberikan cinta dan kasih sayang yang sama besarnya seperti cinta kasih sayang seorang bapak kepada anak-anaknya.

Yang membedakan derajat murid dan santri dihadapan beliau adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya kepada perjuangan Nahdlatul Wathan, seperti wasiat beliau yang selalu dijadikan pedoman dan tolak ukur oleh para murid dan santrinya, yaitu :

ان اكرمكم عندى انفعكم لنهضة الوطن وان شركم عندى اضركم بنهضةالوطن

Artinya:

“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan, dan yang paling jahat ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan”.

Kepemimpinan beliau yang selalu menekankan hubungan guru dengan murid, inilah yang sulit memisahkan beliau dengan para murid-muridnya, dan barangkali belum ada figur pimpinan selain beliau yang selalu menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid. Menurut prinsip beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid, akan tetapi kebanyakn murid yang membuang guru.

Adanya penekanan dan jalinan pola hubungan guru dengan murid dalam kepemimpinan beliau, menyebabkan tidak terdapatnya kesenjangan antara beliau sebagai guru dan juga sebagai pemimpin dengan warga dan murid-muridnya dan antara murid dengan murid, yang selalu diikat oleh khittah perjuangan Nahdlatul Wathan.

Demikian pula dalam setiap gerak dan langkah, beliau selalu memberikan contoh dan suri tauladan yang baik dan selalu memberikan keyakinan akan kebenaran perjuangan Nahdlatul Wathan dengan memberikan contoh yang jelas dan praktis untuk diikuti dan dilaksanakan oleh seluruh murid dan santrinya. Sikap kasih sayang terhadap para murid dan santri utamanya yang memiliki dan menunjukkan nilai positif untuk perjuangan Nahdlatul Wathan tetap terlihat dalam sikap dan prilaku beliau dan tetap terdengar dari ucapan-ucapan beliau. Semua murid dan santri mendapat cinta dan kasih sayang serta perlakuan yang sama, selama mereka tidak merusak hubungan baiknya dengan beliau sebagai guru dan juga kepada perjuangan Nahdlatul Wathan.

Pola pendekatan dan bentuk kepemimpinan yang dimiliki beliau menyebabkan kharisma yang beliau miliki dan kecintaan murid terhadap beliau tidak pernah pudar. Beliau tetap mendo’akan para murid dan santrinya agar agar menjadi murid yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berbuat baik kepada ibu bapak dan guru. Beliau tetap memesankan dan menekankan hubungan baik dengan guru.

Beliau senantiasa menanamkan keyakinan dan kesetiaan murid kepada gurunya. Karena keberkatan ilmu sangat bergantung pada kesetiaan dan hubungan baik murid dengan gurunya, dan kerugiaan yang sangat besar bagi seorang murid apabila merusak hubungan baik dengan gurunya.

Beliau mendidik para murid dan santrinya agar selalu mencintai orang yang baik-baik utamanya para ulama’ dan aulia’ seperti Al ‘Alimul ‘Allamah Al Magfurulah Al’Arifubillah Asy Syaikh Hasan Muhammad Al Masyayath.

Demikian juga beliau mengajarkan kepada para murid dan santrinya untuk selalu berbaik sangka kepada semua orang dan berbuat baik terhadap orang yang pernah berbuat baik kepada Nahdiatui Wathan. Ajaran beliau, apabila seseorang berbuat baik satu kali, maka harus dibalas sepuluh kali, bahkan seratus kali kebaikan. Jasa baik seseorang tetap dibalas dengan kebaikan. Kebaikan seseorang selalu diingat dan dikenang. Akan tetapi kebaikan diri kepada seseorang hendaknya dilupakan. Dan apabila ada orang berbuat jahat kepada kita, hendaklah dibalas dengan sabar, kalau tidak tahan, balaslah dengan seimbang, tidak boleh lebih.

Sebagai pemimpin ummat, beliau mempunyai pendirian dan sikap tegas, sportif dan konsekuen terhadap apa yang beliau putuskan. Dalam menetapkan suatu masalah utamanya yang bersifat prinsipil beliau selalu mengkajinya secara mendalam, tidak hanya melalui pertimbangan akan pikiran pribadi, akan tetapi dengan musyawarah, dan setelah dipertimbangkan dengan matang berdasarkan dalil-dalil naqli dan aqlinya manthuq dan mafhumnya untung ruginya, mashlahat dan mafsadatnya, barulah beliau menempuh jalan yang terakhir yaitu melalui shalat Istikharah sampai memperoleh suatu keputusan yang meyakinkan. Keputusan tersebut beliau laksanakan dan terapkan dengan penuh keyakinan dan sportifitas tinggi serta diupayakan untuk menjadi suatu garis atau ketetapan yang secara murni dan konsekuen dilaksanakan oleh seluruh murid dan santri beliau.

Dalam melaksanakan missi dan tugas organisasi, beliau senantiasa memberikan bimbingan, petunjuk dan masukan-masukan kepada semua kader dan selalu membesarkan jiwa dan semangat pengabdian kepada para murid dan santrinya dengan jiwa iman dan taqwa, ikhlas dan istiqamah, jujur dan memiliki sifat syaja’ah (keberanian) serta memiliki jiwa rela berkorban untuk kepentingan ummat. Sedangkan yang paling tidak dibenarkan dan tidak berkenan di hati beliau adalah sikap pessimistis, apatis, pengecut, cari muka dan ingkar janji.

Demikian pula sebagai panutan ummat beliau selalu menunjukkan sikap yang konsekuen terhadap masalah- masalah yang telah difatwakannya dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Beliau juga selalu mem- berikan harapan-harapan segar yang meyakinkan serta menyejukkan hati kepada para murid dan santrinya untuk menambah semangat juang dan pengabdiannya kepada agama, nusa dan bangsa melalui jalur organisasi Nahdlatul Wathan.

Titik tekan dari perjuangan dan kepemimpinan beliau selalu bertujuan untuk kepentingan ummat dalam upaya mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan duniawi dan ukhrawi. Beliau sebagai pejuang dan peimimpin yang tangguh, dari semua ucapan, pengarahan dan prilaku beliau selalu terdengar dan terlihat sikap untuk maju dan terus maju. Misalnya dari gubahan lagu/nasyid yang beliau ciptakan selalu memancarkan jiwa jihad yang tinggi dan bermakna, baik dalam upaya memerangi kebodohan, keterbelakangan maupun dalam memerangi dan membasmi segala macam khurafat yang berbahaya bagi ummat Islam. Dalam lagu/nasyid tersebut tercermin sifat dan sikap mental yang beliau miliki dan perlu diwariskan kepada para murid dan santri beliau sebagai generasi dan kader penerus perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang yaitu tekun dalam berjuang, ikhlas dalam beramal dan berkarya serta selalu dilandasi dengan jiwa iman dan taqwa yang merupakan muara dan pokok pangkal perjuangan Nahdlatul Wathan. Beliau selalu menekankan bahwa dalam perjuangan itu hendaknya dilandasi dengan “Tiga I”, yaitu Iman, Islam dan Ihsan; danjangan berjuang karena mengharapkan “tiga si”, yaitu kaki kursi, nasi basi dan sambal terasi.

Kegairahan dalam berjuang dan menuntut ketinggian ilmu pengetahuan dan ketinggian martabat hidup, baik sebagai warga Nahdiatui Wathan maupun sebagai ummat Islam untuk kepentingan duniawi dan ukhrawi tetap terdengar dari fatwa-fatwa yang beliau sampaikan dan tetap terlukis dalam karangan beliau, baik yang berbahasa Arap maupun yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Sasak.

JABATAN YANG TELAH DIEMBAN DAN JASA-JASANYA.

Sejak beliau kembali dari Makkah Al Mukarramah yaitu setelah menamatkan studinya di Madrasah Ash Shaulatiyah, cukup banyak jabatan yang telah beliau emban, baik yang formal maupun non formal dalam Republik ini.

Demikian juga pengabdian dan jasa-jasanya dalam upaya ikut serta mengambil bagian dalam pembangunan agama, nusa dan bangsa agaknya dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh pejuang lainnya yang telah banyat berkiprah dalam negara Pancasila terdnta ini.

Mengemukakan tentang jabatan yang telah diemban dan jasa-jasa yang telah beliau darma baktikan di bumi pertiwi ini, sesungguhnya bukanlah bertujuan untuk menonjolkan pribadi beliau dan bukan pula untuk mencari popularitas yang justeru kurang berkenan dan sesuai dengan falsafah hidup beliau. Karena popularitas tidak diharapkan dalam perjuangan. Akan tetapi tujuan kami mengetengahkan dan menampilkannya hanyalah untuk dapat menjadi gambaran bagi kader penerus perjuangan Nahdlatul Wathan, sekaligus dijadikan sebagai motivasi dan dorongan bagi para murid dan santri beliau dalam upaya meningkatkan semangat juangnya dalam ikut serta berkiprah dan berkhidmat kepada agama, nusa dan bangsa.

Dalam pada itu, jasa-jasa beliau yang telah diabadikan kepada Republik ini, akan selalu diingat, dikenang dan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Nahdlatul Wathan oleh para pewaris dan penerus perjuangan beliau. Orang-orang bijak mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan dan pejuangnya”.

Pengalaman kerja dan jabatan yang pernah beliau emban dan merupakan jasa beliau dalam negara tercinta ini adalah sebagai berikut :

1. Pada tahun 1934 mendirikan Pondok Pesantren Al Mujahidin

2. Pada tahun 1936 mendirikan Madrasah NWDI (Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah)

3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI(Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah)

4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok.

5. Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur.

6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji ke Makkah dari NIT (Negara Indonesia Timur)

7. Pada tahun 1948/1949 anggota delegasi NIT ke Saudi Arabia

8. Pada tahun 1950 Konsulat NU (Nahdlatul Ulama’) Sunda Kecil

9. Pada tahun 1952 Ketua Badan Penasihat Masyumi Daerah Lombok

10. Pada tahun 1953 Mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan.

11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama

12. Pada tahun 1953 merestui terbentuknya NU dan PSII di Lombok

13. Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok

14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil PEMILU I (1955)

15. Pada tahun 1964 mendirikan Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan

16. Pada tahun 1965 mendirikan Ma’had Darul Qur’an wal Hadits Al Majidiyah Asy Syafi’iyah Nahdlatul Wathan

17. Pada tahun 1971 – 1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III dari Fraksi Gologan Karya

18. Pada tahun 1971-1982 Anggota Penasihat Majlis Ulama Indonesia

19. Pada tahun 1974 mendirikan Ma’had lil Banat

20. Pada tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram

21. Pada tahun 1977 mendirikan Universitas HAMZANWADI

22. Pada tahun 1977 Rektor Universitas HAMZANWADI

23. Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas HAMZANWADI

24. Pada tahun 1978 mendirikan STKIP HAMZANWADI

25. Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) HAMZANWADI

26. Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan HAMZANWADI

27. Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram

28. Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu hukum HAMZANWADI

RINTISAN-RINTISAN (AWWALIYAT)NYA

Sebagai seorang ulama’ dan pemimpin ummat, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid sangat produktif dan selalu mempunyai kreasi baru. Baru dalam arti sesungguhnya dan baru dalam arti untuk daerah Nusa Tenggara Barat pada masanya. Ide dan kreasi baru beliau tidak kurang dari pada 25 buah, diantaranya :

1. Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran Agama Islam di daerah NTB dengan sistem madrasi.

2. Membuka lembaga pendidinan khusus bagi kaum wanita.

3. Mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adhha dengan mendatangi, bukan didatangi.

4. Menyelenggarakan pengajian umum secara bebas (tanpa batasan umur) dengan tanpa memakai kitab.

5. Mengadakan gerakan do’a dengan berhizib.

6. Mengadakan Syafa’atui Kubro.

7. Mengadakan thariqat yaitu thariqat hizib Nahdlatul Wathan.

8. Membuka sekolah umum disamping madrasah di NTB.

9. Menyusun nadham berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia seperti Batu Ngompal.

10. Dan lain-lain.

Minggu, 24 Juli 2011

Syekh Abdul Qadir Jaelani

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab الذيل على طبق الحنابلة Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali.

Kelahiran, Silsilah dan Nasab

Ada dua riwayat sehubungan dengan tanggal kelahiran al-Ghauts al_A'zham Syekh Abdul Qodir al-Jilani. Riwayat pertama yaitu bahwa ia lahir pada 1 Ramadhan 470 H. Riwayat kedua menyatakan Ia lahir pada 2 Ramadhan 470 H. Tampaknya riwayat kedua lebih dipercaya oleh ulama[1]. Silsilah Syekh Abdul Qodir bersumber dari Khalifah Sayyid Ali al-Murtadha r.a ,melalui ayahnya sepanjang 14 generasi dan melaui ibunya sepanjang 12 generasi. Syekh Sayyid Abdurrahman Jami rah.a memberikan komentar mengenai asal usul al-Ghauts al-A'zham r.a sebagi berikut : "Ia adalah seorang Sultan yang agung, yang dikenal sebagial-Ghauts al-A'zham. Ia mendapat gelar sayyid dari silsilah kedua orang tuanya, Hasani dari sang ayah dan Husaini dari sang ibu"[1]. Silsilah Keluarganya adalah Sebagai berikut : Dari Ayahnya(Hasani)[1]:

Syeh Abdul Qodir bin Abu Samih Musa bin Abu Abdillah bin Yahya az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Tsani Abdullah Tsani bin Musa al-Jaun Abdul Mahdhi bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan as-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW

Dari ibunya(Husaini)[1] : Syeh Abdul Qodir bin Ummul Khair Fathimah binti Abdullah Sum'i bin Abu Jamal bin Muhammad bin Mahmud bin Abul 'Atha Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu Ala'uddin bin Ali Ridha bin Musa al-Kazhim bin Ja'far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal 'Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, Suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW

Masa Muda

Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Murid-Murid

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau

Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin Nubala XX/442).

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu.”

Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.

Karamahnya

Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).

"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."

Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Karya

Imam Ibnu Rajab juga berkata, ”Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya karyanya [1] :

1. al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,

  1. Futuhul Ghaib.
  2. Al-Fath ar-Rabbani
  3. Jala' al-Khawathir
  4. Sirr al-Asrar
  5. Malfuzhat
  6. Khamsata "Asyara Maktuban

Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

Ajaran-ajaranya

Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat ritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allahmenjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyayikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi“.

Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidahnya ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

Awal Kemasyhuran

Al-Jaba’i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum]].

Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, “Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."

Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.

Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Beberapa Kejadian Penting

Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.

Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.

Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”

Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.

Hubungan Guru dan Murid

Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.

  1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
  2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
  3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
  4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar.
  5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
  6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:

Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, “Laa Ilaaha Illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.

Syeikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. `

Referensi

  1. Manakib Syekh Abdul Qodir Al Jailani, Perjalanan Spiritual Sulthanul Auliya, Pustaka Setia, Bandung, 2003
  1. ^ a b c d e MA Cassim Razvi dan Siddiq Osman NM: "Syekh Abdul Qadir al-Jailani Pemimpin Para Wali", halaman 1-4.Yogyakarta : Pustaka Sufi. ISBN : 979-97400-100-8

Abu Abdullah Muhammad bin Musa al-Khwarizmi  edit.png

Artikel bertopik biografi tokoh Islam ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Uwais al-Qarny

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Uwais Al-Qarny (Arab: أويس القرني) (meninggal 657) adalah penduduk dari Qaran di Yaman.

Keutamaan Uwais al-Qarny

Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa'at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa'at sejumlah qobilah Robi'ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah "Uwais al-Qarni". Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.

Seorang fuqoha' negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata, "Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri".

Biografi

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al-Qur'an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.

Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak memengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur.

Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.

Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah "bertamu dan bertemu" dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.

Di ceritakan ketika terjadi Pertempuran Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat?

Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya.

Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, "Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang". Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.

Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina 'Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais.

Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang.

Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman," Engkau harus lekas pulang".

Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina 'Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina 'Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina 'Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rasulullah SAW bersabda : "Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya." Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. dan sayyidina [[Umar bin Khattab] r.a. dan bersabda, "Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do'a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi".

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Ia segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.

Di antara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni.

Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan salat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? "Abdullah", jawab Uwais.

Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan, "Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?" Uwais kemudian berkata, "Nama saya Uwais al-Qorni".

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo'akan untuk mereka.

Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah, "Sayalah yang harus meminta do'a kepada kalian". Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata, "Kami datang ke sini untuk mohon do'a dan istighfar dari anda".

Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo'a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata, "Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi".

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais, waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan salat di atas air.

Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. "Wahai waliyullah," Tolonglah kami!" tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi, "Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!" Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata,

"Apa yang terjadi ?"

"Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak?" tanya kami.

"Dekatkanlah diri kalian pada Allah!" katanya.

"Kami telah melakukannya."

"Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaani rrohiim!"

Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut.

Lalu orang itu berkata pada kami ,"Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat". "Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? "Tanya kami.

"Uwais al-Qorni". Jawabnya dengan singkat.

Kemudian kami berkata lagi kepadanya, "Sesungguhnya harta yang ada dikapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir."

"Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?" tanyanya.

"Ya, "jawab kami. Orang itu pun melaksanakan salat dua rakaat di atas air, lalu berdo'a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke Rahmatullah.

Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.

Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, "ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.)

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.

Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, "Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa "Uwais al-Qorni" ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

Imam Asy-Syafi'i

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Ahli hukum Islam
Zaman keemasan Islam

Nama:

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī

Lahir:

767, Gaza, Palestina

Meninggal:

820, Fustat, Mesir

Aliran/tradisi:

Sunni Syafi'i

Minat utama:

Fiqh

Gagasan penting:

Evolusi Fiqh

Dipengaruhi:

Imam Malik[1]Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Shafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i (bahasa Arab: محمد بن إدريس الشافعي) yang akrab dipanggil Imam Syafi'i (Gaza, Palestina, 150 H / 767 - Fusthat, Mesir 204H / 819M) adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i juga tergolong kerabat dari Rasulullah, ia termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek Muhammad.

Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana.

Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.

Kelahiran dan kehidupan keluarga

Kelahiran

Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun diantara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.

Nasab

Imam Syafi'i merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.

Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:

“Hanyalah kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 - 66).

Masa belajar

Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.

Belajar di Makkah

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.

Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Belajar di Madinah

Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.

Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.

Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”

Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.

Di Yaman

Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.

Di Baghdad, Irak

Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.

Di Mesir

Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.

Karya tulis

Ar-Risalah

Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”

Mazhab Syafi'i

Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”

Al-Hujjah

Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.

Al-Umm

Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”

Referensi

  1. ^ The Origins of Islamic Law: The Qurʼan, the Muwaṭṭaʼ and Madinan ʻAmal, by Yasin Dutton, pg. 16