Intermeso 48: Birrul
Walidaini
Umroh kesyukuran 40 Tahun
Darunnajah belum lama berlalu, tentu setiap jama'ah mempunyai kenangan masing2.
Ada delapan alumni Tarbiyatul Mu’allimin/Mu’allimat
Al Islamiyah (TMI) Darunnajah yang sedang belajar di Universitas Islam Madinah.
Mereka diberi kesempatan untuk menjadi pemandu (kalau tidak mau disebut muthowwif).
Satu mahasiswa di antaranya sedang mudhif (menerima tamu), atau istilah
yg popiler pada santri Darunnajah, sedang "dimudhifin". Itu
mahasiswa yg wajahnya mirip saya.
Dalam acara kesyukuran itu, secara pribadi saya juga mensyukuri karunia Allah yg saya rasakan selama ini, di antaranya pada tahun ini saya dapat menunaikan ibadah umroh, napak tilas ibadah haji tahun 1998.
Saya harus bersyukur lagi, anak saya berkesempatan belajar di Universitas Islam Madinah, sehingga saya didampingi pemandu khusus. Di luar tugas-tugas kepanitiaan, anak saya selalu memandu saya, dari menunjukkan tempat Haram (Masjid), waktu-waktu yang tepat ke Raudhoh, memandu umroh sampai jalan-jalan ke Musium Nabi. Tentu ini kesyukuran lagi.
Saya selalu dilayani, dari dibuatkan teh manis saat makan, sampai dikawal dan dipandu do'a saat ibadah umroh. Semoga menjadi anak sholeh sebagai harapan setiap orang tua.
Hari Jumat di Mekah, pagi itu kami berdua pergi umroh, mengambil miqot dari Tan'im. Pk 11.00 umroh selesai dan kami lanjutkan sholat Jumat. Kami mendapat tempat di luar Mas'a karena tempat sa'i itu pintu-pintunya sudah ditutup.
Mohon maklum, hari Jumat adalah hari libur Saudi, sehingga pukul 10 Masjid Harom sudah penuh. Kami bersimpuh di bawah terik sinar matahari, di samping proyek perluasan Masjid Harom. Untung saja, saya sudah tahallul, sehinnga sebagian kain ihrom bisa untuk menutup kepala botak saya.
Yang dapat giliran khotib pada hari itu Imam Besar dan Khotib Masjid Harom, Dr. Abdurrahman As-Sudais, judulnya Birrul Walidaini (berbakti kedua orang tua). Anak saya yang duduk di samping saya, yang mahasiswa Madinah dan tamatan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Darunnajah, pasti paham isi yg disampaikan khotib saat itu. Saya tidak usah pura-pura bertanya, "Apa isi khutbah tadi?".
Kami kembali ke hotel, saya mendengar komentar mahasiswa Madinah yang alumni Gontor, "Khutbahnya bagus sekali", "Kata Kiai Hasan", maksudnya pimpinan Gontor yang pada saat juga sholat Jum'at di Masjid Harom, "Kalau penjelasan birrul walidaini itu dari orang tua, berarti orang tua meminta hak kepada anak, tetapi kalau dari orang lain, berarti memberi tahu kewajiban kepada anak". Kiai Hasan juga umroh sambil menjenguk putranya yg sedang menempuh pendidikan S2 di Madinah.
Alumni Darunnajah yang asal Mukomuko Bengkulu menambahkan, "Syeikh Sudais mengambil judul itu, karena orang tuanya baru meninggal. Saya juga waktu bapak saya baru meninggal, pakai judul itu", lanjutnya.
Mahasiswa asal Mukomuko ini, ayahnya meninggal tahun lalu saat menjelang libur musim panas.
Dalam acara kesyukuran itu, secara pribadi saya juga mensyukuri karunia Allah yg saya rasakan selama ini, di antaranya pada tahun ini saya dapat menunaikan ibadah umroh, napak tilas ibadah haji tahun 1998.
Saya harus bersyukur lagi, anak saya berkesempatan belajar di Universitas Islam Madinah, sehingga saya didampingi pemandu khusus. Di luar tugas-tugas kepanitiaan, anak saya selalu memandu saya, dari menunjukkan tempat Haram (Masjid), waktu-waktu yang tepat ke Raudhoh, memandu umroh sampai jalan-jalan ke Musium Nabi. Tentu ini kesyukuran lagi.
Saya selalu dilayani, dari dibuatkan teh manis saat makan, sampai dikawal dan dipandu do'a saat ibadah umroh. Semoga menjadi anak sholeh sebagai harapan setiap orang tua.
Hari Jumat di Mekah, pagi itu kami berdua pergi umroh, mengambil miqot dari Tan'im. Pk 11.00 umroh selesai dan kami lanjutkan sholat Jumat. Kami mendapat tempat di luar Mas'a karena tempat sa'i itu pintu-pintunya sudah ditutup.
Mohon maklum, hari Jumat adalah hari libur Saudi, sehingga pukul 10 Masjid Harom sudah penuh. Kami bersimpuh di bawah terik sinar matahari, di samping proyek perluasan Masjid Harom. Untung saja, saya sudah tahallul, sehinnga sebagian kain ihrom bisa untuk menutup kepala botak saya.
Yang dapat giliran khotib pada hari itu Imam Besar dan Khotib Masjid Harom, Dr. Abdurrahman As-Sudais, judulnya Birrul Walidaini (berbakti kedua orang tua). Anak saya yang duduk di samping saya, yang mahasiswa Madinah dan tamatan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Darunnajah, pasti paham isi yg disampaikan khotib saat itu. Saya tidak usah pura-pura bertanya, "Apa isi khutbah tadi?".
Kami kembali ke hotel, saya mendengar komentar mahasiswa Madinah yang alumni Gontor, "Khutbahnya bagus sekali", "Kata Kiai Hasan", maksudnya pimpinan Gontor yang pada saat juga sholat Jum'at di Masjid Harom, "Kalau penjelasan birrul walidaini itu dari orang tua, berarti orang tua meminta hak kepada anak, tetapi kalau dari orang lain, berarti memberi tahu kewajiban kepada anak". Kiai Hasan juga umroh sambil menjenguk putranya yg sedang menempuh pendidikan S2 di Madinah.
Alumni Darunnajah yang asal Mukomuko Bengkulu menambahkan, "Syeikh Sudais mengambil judul itu, karena orang tuanya baru meninggal. Saya juga waktu bapak saya baru meninggal, pakai judul itu", lanjutnya.
Mahasiswa asal Mukomuko ini, ayahnya meninggal tahun lalu saat menjelang libur musim panas.