Kamis, 27 Februari 2014

Intermeso 48: Birrul Walidaini

Intermeso 48: Birrul Walidaini


            Umroh kesyukuran 40 Tahun Darunnajah belum lama berlalu, tentu setiap jama'ah mempunyai kenangan masing2.
            Ada delapan alumni Tarbiyatul Mu’allimin/Mu’allimat Al Islamiyah (TMI) Darunnajah yang sedang belajar di Universitas Islam Madinah. Mereka diberi kesempatan untuk menjadi pemandu (kalau tidak mau disebut muthowwif). Satu mahasiswa di antaranya sedang mudhif (menerima tamu), atau istilah yg popiler pada santri Darunnajah, sedang "dimudhifin". Itu mahasiswa yg wajahnya mirip saya.
            Dalam acara kesyukuran itu, secara pribadi saya juga mensyukuri karunia Allah yg saya rasakan selama ini, di antaranya pada tahun ini saya dapat menunaikan ibadah umroh, napak tilas ibadah haji tahun 1998. 
            Saya harus bersyukur lagi, anak saya berkesempatan belajar di Universitas Islam Madinah, sehingga saya didampingi pemandu khusus. Di luar tugas-tugas kepanitiaan, anak saya selalu memandu saya, dari menunjukkan tempat Haram (Masjid), waktu-waktu yang tepat ke Raudhoh, memandu umroh sampai jalan-jalan ke Musium Nabi. Tentu ini kesyukuran lagi. 
            Saya selalu dilayani, dari dibuatkan teh manis saat makan, sampai dikawal dan dipandu do'a saat ibadah umroh. Semoga menjadi anak sholeh sebagai harapan setiap orang tua.
            Hari Jumat di Mekah, pagi itu kami berdua pergi umroh, mengambil miqot dari Tan'im. Pk 11.00 umroh selesai dan kami lanjutkan sholat Jumat. Kami mendapat tempat di luar Mas'a karena tempat sa'i itu pintu-pintunya sudah ditutup.
            Mohon maklum, hari Jumat adalah hari libur Saudi, sehingga pukul 10 Masjid Harom sudah penuh. Kami bersimpuh di bawah terik sinar matahari, di samping proyek perluasan Masjid Harom. Untung saja, saya sudah tahallul, sehinnga sebagian kain ihrom bisa untuk menutup kepala botak saya.
            Yang dapat giliran khotib pada hari itu Imam Besar dan Khotib Masjid Harom, Dr. Abdurrahman As-Sudais, judulnya Birrul Walidaini (berbakti kedua orang tua). Anak saya yang duduk di samping saya, yang mahasiswa Madinah dan tamatan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) Darunnajah, pasti paham isi yg disampaikan khotib saat itu. Saya tidak usah pura-pura bertanya, "Apa isi khutbah tadi?".
            Kami kembali ke hotel, saya mendengar komentar mahasiswa Madinah yang alumni Gontor, "Khutbahnya bagus sekali", "Kata Kiai Hasan", maksudnya pimpinan Gontor yang pada saat juga sholat Jum'at di Masjid Harom, "Kalau penjelasan birrul walidaini itu dari orang tua, berarti orang tua meminta hak kepada anak, tetapi kalau dari orang lain, berarti memberi tahu kewajiban kepada anak". Kiai Hasan juga umroh sambil menjenguk putranya yg sedang menempuh pendidikan S2 di Madinah.
            Alumni Darunnajah yang asal Mukomuko Bengkulu menambahkan, "Syeikh Sudais mengambil judul itu, karena orang tuanya baru meninggal. Saya juga waktu bapak saya baru meninggal, pakai judul itu", lanjutnya. 
            Mahasiswa asal Mukomuko ini, ayahnya meninggal tahun lalu saat menjelang libur musim panas. 

Intermeso 47: Penipuan via Telepon

Intermeso 47: Penipuan via Telepon


    Modus operandi penipuan via telepon memang ada, mungkin kita pernah mendengar cerita ini. Pernah ada wali santri yang terkena pula, dan sempat mentransfer dana ke rekening penelpon.
    Pihak pesantren juga sudah berusaha mengingatkan kepada santri, wali santri, dan ustadz, baik melalui pengumuman saat ada pertemuan, melalui surat, maupun selebaran yang dibagikan saat wali santri berkunjung ke pesantren.
    Isi telpon biasanya berkisar pada anak kecelakaan, "Sekarang di rumah sakit, kalau anak Bapak ingin segera ditangani, mohon deposit dana 'sekian' juta ke nomor rekening 'sekian'!"
      Peristiwa ini terjadi dua minggu lalu, tapi kali ini memang beda, karena wali santri ini kebetulan seorang ustadzah. Ustadzah Darunnajah mendapat telpon, mengaku dari polisi, "Hallo, saya bicara dengan Ibu X?, ini telpon dari kantor polisi, sebentar saya sambungkan".
      Kemudian di seberang telepon terdengar suara, yang berat datar dan berwibawa, "Hallo, ini dari kantor polisi, anak Ibu yang bernama Y, sekarang ditahan di kantor polisi karena terlibat kasus Narkoba, kalau Ibu ingin berdamai, mohon menghubungi nomor sekian-sekian"
    Reaksi pertama, ustadzah itu panik, bingung, dan tentu saja menangis. Untung kemudian sadar dan menelpon musyrif-nya, ternyata anaknya Si Y ada di asrama dan dalam keadaan sehat wal afiat. Untuk meyakinkan ibunya,  anak itu disuruh menelpon ibunya.
    Sadar akan peristiwa ini adalah modus penipuan, maka tangis sang ibu berubah menjadi air mata bahagia.
    Heran juga ya? Dari mana "polisi" itu bisa tahu nama Ustadzah X, anaknya Y, dan nomor teleponnya?.
    Karena suasananya panik, maka serba terburu-buru, seandainya suasananya agak nyantai, "polisi"nya bisa diajak ngobrol yang lebih jelas, mungkin yang dimaksud Narkoba adalah nasi-karo-bakwan, bukan singkatan dari narkotika, psikotropika dan bahan adiktif berbahaya lainnya.

Intermeso 46: Nasi Panas dan Daging Empuk

Intermeso 46: Nasi Panas dan Daging Empuk


    Tahun 1979, Gedung Fatahillah 2 pojok (sekarang Lab Kimia), ditempati guru-guru SD sebagai kamar.
    Meskipun sudah disediakan dapur umum, kadang-kadang mereka masak juga di depan kamar. Atau ambil nasi di dapur tapi lauknya masak sendiri.
    Suatu ketika ada yang masak nasi dan "daging".
    Menjelang salat Isya' datanglah dua orang santri kelas niha'i, sambil keliling-keliling, siapa tahu ada santri yang ngumpet di kelas SD. Seperti biasanya menanyakan, "Masak apa?, ini daging apa?". Maka nasi sepiring dan daging dihabiskan berdua, untuk tuan rumah tidak disisakan barang sedikitpun, disangkanya tuan rumah sudah makan.  
    Apa lagi saat itu, nasi masih panas dan daging empuk sedikit kenyal.
    Setelah makanan habis, mereka berdua bertanya kepada tuan rumah, "Itu tadi daging apa, kok enak?!"
    "Daging yang mana?", tuan rumah pura-pura balik bertanya.
    "Itu, tu, yang tadi saya makan!" Jawab dua orang santri hampir bersamaan.
    Maka jawab tuan rumah, "Ma'af itu daging bekicot!"
    "Bekiicoott???" Kontan dua santri itu muntah-muntah.
    Mungkin juga tuan rumah agak sengaja, karena kebiasaannya begitu, ambil makanan tanpa izin tuan rumah.