Jumat, 26 Oktober 2012

K.H. Bisri Mustofa Rembang


KH Bisri Mustofa Rembang 
April 13, 2011 admin Ke-NU-an2

Riwayat Hidup
       K.H. Bisri Musthofa merupakan satu di antara sedikit ulama Islam Indonesia yang memiliki karya besar. Beliaulah sang pengarang kitab Tafsir al-Ibriz li Ma’rifah Tafsir al-Qur’an al-‘Aziz. Kitab tafsir ini selesai beliau tulis pada tahun 1960 dengan jumlah halaman setebal 2270 yang terbagi ke dalam tiga jilid besar. Masih banyak karya-karya lain yang dihasilkan K.H. Bisri Musthofa, dan tidak hanya mencakup bidang tafsir saja tetapi juga bidang-bidang yang lain seperti tauhid, fiqh, tasawuf, hadits, tata bahasa Arab, sastra Arab, dan lain-lain.
       Selain itu, K.H. Bisri Musthofa juga dikenal sebagai seorang orator atau ahli pidato. Beliau, menurut KH. Saifuddin Zuhri, mampu mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit sehingga menjadi begitu gamblang, mudah diterima semua kalangan baik orang kota maupun desa. Hal-hal yang berat menjadi begitu ringan, sesuatu yang membosankan menjadi mengasyikkan, sesuatu yang kelihatannya sepele menjadi amat penting, berbagai kritiknya sangat tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan, serta pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan secara sopan dan menyenangkan (KH. Saifuddin Zuhri: 1983, 27).
       K.H. Bisri Musthofa dilahirkan di desa Pesawahan, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1915 dengan nama asli Masyhadi. Nama Bisri ia pilih sendiri sepulang dari menunaikan ibadah haji di kota suci Mekah. Beliau adalah putra pertama dari empat bersaudara pasangan H. Zaenal Musthofa dengan isteri keduanya yang bernama Hj. Khatijah. Tidak diketahui jelas silsilah kedua orangtua K.H. Bisri Musthofa ini, kecuali catatan K.H. Bisri Musthofa yang menyatakan bahwa kedua orang tuanya tersebut sama-sama cucu dari Mbah Syuro, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai tokoh kharismatik di Kecamatan Sarang. Namun, sayang sekali, mengenai Mbah Syuro ini pun tidak ada informasi yang pasti dari mana asal usulnya (K.H. Bisri Musthofa: 1977, 1).
       Di usianya yang keduapuluh, K.H. Bisri Musthofa dinikahkan oleh gurunya yang bernama Kiai Cholil dari Kasingan (tetangga desa Pesawahan) dengan seorang gadis bernama Ma’rufah (saat itu usianya 10 tahun), yang tidak lain adalah puteri Kiai Cholil sendiri. Belakangan diketahui, inilah alasan Kiai Cholil tidak memberikan izin kepada K.H. Bisri Musthofa untuk melanjutkan studi ke pesantren Termas yang waktu itu diasuh oleh K. Dimyati. Dari perkawinannya inilah, K.H. Bisri Musthofa dianugerahi delapan anak, yaitu Cholil, Musthofa, Adieb, Faridah, Najihah, Labib, Nihayah dan Atikah. Cholil (K.H. Cholil Bisri) dan Musthofa (K.H. Musthofa Bisri) merupakan dua putera K.H. Bisri Musthofa yang saat ini paling dikenal masyarakat sebagai penerus kepemimpinan pesantren yang dimilikinya. K.H. Bisri Musthofa wafat pada tanggal 16 Februari 1977 (K.H. Bisri Musthofa: 1977, 15).
Pendidikan
       K.H. Bisri Musthofa lahir dalam lingkungan pesantren, karena memang ayahnya seorang kiai. Sejak umur tujuh tahun, beliau belajar di sekolah Jawa “Angka Loro” di Rembang. Di sekolah ini, K.H. Bisri Musthofa tidak sampai selesai karena ketika hampir naik kelas dua beliau terpaksa meninggalkan sekolah, tepatnya diajak oleh orangtuanya menunaikan ibadah haji di Mekah. Rupanya, inilah masa di mana beliau harus merasakan kesedihan mendalam karena dalam perjalanan pulang di pelabuhan Jedah, ayahnya yang tercinta wafat setelah sebelumnya menderita sakit di sepanjang pelaksanaan ibadah haji (K.H. Saifuddin Zuhri: 1983, 24).
      Sepulang dari tanah suci, K.H. Bisri Musthofa sekolah di Holland Indische School (HIS) di Rembang. Tak lama kemudian ia dipaksa keluar oleh Kiai Cholil (guru di pondok dan belakangan jadi mertua) dengan alasan sekolah tersebut milik Belanda dan kembali lagi ke sekolah “Angka Loro” sampai mendapatkan serifikat dengan masa pendidikan empat tahun. Pada usia 10 tahun (tepatnya pada tahun 1925), K.H. Bisri Musthofa melanjutkan pendidikannya ke pesantren Kajen, Rembang. Pada tahun 1930, K.H. Bisri Musthofa belajar di pesantren Kasingan pimpinan Kiai Cholil (K.H. Bisri Musthofa: 1977, 8-9).
       Setahun setelah dinikahkan oleh Kiai Cholil dengan putrinya yang bernama Marfu’ah itu, K.H. Bisri Musthofa berangkat lagi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan beberapa anggota keluarga dari Rembang. Namun, seusai haji, K.H. Bisri Musthofa tidak pulang ke tanah air, melainkan memilih bermukim di Mekah dengan tujuan menuntut ilmu di sana.
       Di Mekah, pendidikan yang dijalani K.H. Bisri Musthofa bersifat non-formal. Beliau belajar dari satu guru ke guru lain secara langsung dan privat. Di antara guru-guru beliau terdapat ulama-ulama asal Indonesia yang telah lama mukim di Mekah. Secara keseluruhan, guru-guru beliau di Mekah adalah: 
(1) Syeikh Baqir, asal Yogyakarta. Kepada beliau, K.H. Bisri Musthofa belajar kitab Lubbil Ushul, ‘Umdatul Abrar, Tafsir al-Kasysyaf; 
(2) Syeikh Umar Hamdan al-Maghriby. Kepada beliau, K.H. Bisri Musthofa belajar kitab hadits Shahih Bukhari dan Muslim; 
(3) Syeikh Ali Maliki. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir dan al-Aqwaal al-Sunnan al-Sittah; (4) Sayid Amin. Kepada beliau, K.H. Bisri Musthofa belajar kitab Ibnu ‘Aqil; (5) Syeikh Hassan Massath. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Minhaj Dzawin Nadhar; 
(6) Sayid Alwi. Kepada beliau, K.H. Bisri Musthofa belajar tafsir al-Qur’an al-Jalalain; 
(7) KH. Abdullah Muhaimin. Kepada beliau, KH. Bisri Musthofa belajar kitab Jam’ul Jawami’ (KH. Bisri Musthofa: 1977, 18).
       Dua tahun lebih K.H. Bisri Musthofa menuntut ilmu di Mekah. KH. Bisri Musthofa pulang ke Kasingan tepatnya pada tahun 1938 atas permintaan mertuanya.
     Setahun kemudian, mertuanya (Kiai Cholil) meninggal dunia. Sejak itulah K.H. Bisri Mustofa menggantikan posisi guru dan mertuanya itu sebagai pemimpin pesantren.
       Dalam mengajar para santrinya, beliau melanjutkan sistem yang dipergunakan kiai-kiai sebelumnya yaitu menggunakan sistem balah (bagian) menurut bidangnya masing-masing. Beberapa kitab yang diajarkan langsung kepada para santrinya adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Alfiyah Ibn Malik, Fath al-Mu’in, Jam’ul Jawami’, Tafsir al-Qur’an, Jurumiyah, Matan ‘Imrithi, Nadham Maqshud, ‘Uqudil Juman, dan lain-lain.
         Di samping kegiatan mengajar di pesantren, beliau juga aktif pula mengisi ceramah-ceramah (pengajian) keagamaan. Penampilannya di atas mimbar amat mempesona para hadirin yang ikut mendengarkan ceramahnya sehingga beliau sering diundang untuk mengisi ceramah dalam berbagai kesempatan di luar daerah Rembang, seperti Kudus, Demak, Lasem, Kendal, Pati, Pekalongan, Blora dan daerah-daerah lain di Jawa tengah.
       K.H. Bisri Musthofa memiliki banyak murid. Di antara murid-muridnya yang menonjol adalah K.H. Saefullah (pengasuh sebuah pesantren di Cilacap Jawa Tengah), K.H. Muhammad Anshari (Surabaya), K.H. Wildan Abdul Hamid (pengasuh sebuah pesantren di Kendal), K.H. Basrul Khafi, K.H. Jauhar, Drs. Umar Faruq, S.H., Drs. Ali Anwar (Dosen IAIN Jakarta), Drs. Fathul Qorib (Dosen IAIN Medan), H. Rayani (Pengasuh Pesantren al-Falah Bogor), dan lain-lain.
Karya-Karya
       Jumlah tulisan-tulisan beliau yang ditinggalkan mencapai lebih kurang 54 buah judul, meliputi: tafsir, hadits, aqidah, fiqh, sejarah nabi, balaghah, nahwu, sharf, kisah-kisah, syi’iran, do’a, tuntunan modin, naskah sandiwara, khutbah-khutbah, dan lain-lain. Karya-karya tersebut dicetak oleh beberapa perusahaan percetakan yang biasa mencetak buku-buku pelajaran santri atau kitab kuning, di antaranya percetakan Salim Nabhan Surabaya, Progressif Surabaya, Toha Putera Semarang, Raja Murah Pekalongan, Al-Ma’arif Bandung dan yang terbanyak dicetak oleh Percetakan Menara Kudus. Karyanya yang paling monumental adalah Tafsir al-Ibriz (3 jilid), di samping kitab Sulamul Afham (4 jilid).
       Karya-karya KH. Bisri Musthofa jika diklasifikasikan berdasarkan bidang keilmuan adalah sebagai berikut:
A. Bidang Tafsir
Selain tafsir al-Ibriz, K.H. Bisri Musthofa juga menyusun kitab Tafisr Surat Yasin. Tafsir ini bersifat sangat singkat dapat digunakan para santri serta para da’i di pedasaan. Termasuk karya beliau dalam bidang tafsir ini adalah kitab al-Iksier yang berarti “Pengantar Ilmu Tafsir” ditulis sengaja untuk para santri yang sedang mempelajari ilmu tafsir.


B. Hadits
1. Sulamul Afham, terdiri atas 4 jidil, berupa terjamah dan penjelasan.
Di dalamnya memuat hadits-hadits hukum syara’ secara lengkap dengan keterangan yang sederhana.
2. al-Azwad al-Musthofawiyah, berisi tafsiran Hadits Arba’in an-Nawaiy untuk para santri pada tingkatan Tsanawiyah.
3. al-Mandhomatul Baiquny, berisi ilmu Musthalah al-Hadits yang berbentuk nadham yang diberi nama.

C. Aqidah
1. Rawihatul Aqwam
2. Durarul Bayan
Keduanya merupakan karya terjemahan kitab tauhid/aqidah yang dipelajari oleh para santri pada tingkat pemula (dasar) dan berisi aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Karyanya di bidang aqidah ini terutama ditujukan untuk pendidikan tauhid bagi orang yang sedang belajar pad atingkat pemula.

D. Syari’ah
1. Sullamul Afham li Ma’rifati al-Adillatil Ahkam fi Bulughil Maram.
2. Qawa’id Bahiyah, Tuntunan Shalat dan Manasik Haji.
3. Islam dan Shalat.

E. Akhlak/Tasawuf
1. Washaya al-Abaa’ lil Abna
2. Syi’ir Ngudi Susilo
3. Mitra Sejati
4. Qashidah al-Ta’liqatul Mufidah (syarah dari Qashidah al-Munfarijah karya Syeikh Yusuf al-Tauziri dari Tunisia)

F. Ilmu Bahasa Arab
1. Jurumiyah
2. Nadham ‘Imrithi
3. Alfiyah ibn Malik
4. Nadham al-Maqshud.
5. Syarah Jauhar Maknun

G. Ilmu Mantiq/Logika
Tarjamah Sullamul Munawwarah, memuat dasar-dasar berpikir yang sekarang lebih dikenal dengan ilmu Mantiq atau logika. Isinya sangat sederhana tetapi sangat jelas dan praktis. Mudah dipahami, banyak contoh-contoh yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

H. Sejarah
1. An-Nibrasy
2. Tarikhul Anbiya
3. Tarikhul Awliya.

I. Bidang-bidang Lain
Buku tuntunan bagi para modin berjudul Imamuddien, bukunya Tiryaqul Aghyar merupakan terjemahan dari Qashidah Burdatul Mukhtar. Kitab kumpulan do’a yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari berjudul al-Haqibah (dua jilid). Buku kumpulan khutbah al-Idhamatul Jumu’iyyah (enam jilid), Islam dan Keluarga Berencana, buku cerita humor Kasykul (tiga jilid), Syi’ir-syi’ir, Naskah Sandiwara, Metode Berpidato, dan lain-lain.
Pemikiran
       Tidak dapat dipungkiri, di dalam lingkungan kaum muslimin ada dua kecenderungan, yaitu kelompok tekstual-skripturalistik dan kelompok rasional. Kelompok tekstualis selalu menjadikan ayat al-Qur’an dan Hadits apa adanya sebagai dasar argumen, berpikir, dan bersikap. Sementara kelompok rasionalis selalu memberikan interpretasi rasional terhadap teks-teks keagamaan berdasarkan kemampuan akalnya.
       K.H. Bisri Musthofa tidak termasuk di antara kedua kelompok di atas. K.H. Bisri Musthofa lebih cenderung berada di tengah-tengah antara tekstual-skripturalis dan rasionalis. Sebagaimana terlihat jelas dalam kitab tafsirnya, al-Ibriz, K.H. Bisri Musthofa selalu memberikan tafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat dengan mengambil beberapa pendapat para mufassir disertai dengan argumen-argumen yang beliau berikan sendiri. Dalam kitab tafsirnya itu tidak sedikit ditemukan uraian-uraian yang menyangkut ilmu sosial, logika, ilmu pengetahuan alam dan sebagainya.
       Di bidang akhlak, K.H. Bisri Musthofa termasuk orang yang sangat memprihatinkan kondisi kemorosotan moral generasi muda. Lewat karya-karyanya di bidang akhlak itulah K.H. Bisri Musthofa menyampaikan nasihat-nasihatnya kepada generasi muda. Dalam kitab berbahasa Jawa Washoya Abaa li al-Abna, misalnya, beliau memberikan tuntunan-tuntunan seperti sikap taat dan patuh kepada orangtua, kerapihan, kebersihan, kesehatan, hidup hemat, larangan menyiksa binatang, bercita-cita luhur dan nasihat-nasihat baik lainnya. Sementara dalam karya yang berbentuk syair Jawa, yaitu kitab Ngudi Susila dan Mitra Sejati, K.H. Bisri Musthofa menekankan sikap humanisme, kemandirian, rajin menuntut ilmu dan lain-lain.
       Sedangkan pemikiran K..H. Bisri Musthofa dalam bidang fiqh terlihat dalam pemikirannya mengenai Keluarga Berencana (KB). Menurutnya, manusia dalam berkeluarga diperbolehkan berikhtiar merencanakan masa depan keluarganya sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Dalam pandangan K.H. Bisri Musthofa, Keluarga Berencana diperbolehkan bila disertai dengan alasan yang pokok, yaitu untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, dan meningkatkan pendidikan sang anak.
Karir Politik dan Perjuangan
K.H. Bisri Musthofa hidup dalam tiga zaman, yaitu zaman penjajahan, zaman pemerintahan Soekarno, dan masa Orde Baru. Pada zaman penjajahan, ia duduk sebagai ketua Nahdlatul Ulama dan ketua Hizbullah Cabang Rembang. Kemudian, setelah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dibubarkan Jepang, ia diangkat menjadi ketua Masyumi Cabang Rembang –ketua Masyumi pusat waktu itu adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan wakilnya Ki Bagus Hadikusumo (Saifullah Ma’shum: 1994, 332). Masa-masa menjelang kemerdekaan, K.H. Bisri Musthofa mendapat tugas dari PETA (Pembela Tanah Air). Beliau juga pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama dan ketua Pengadilan Agama Rembang. Menjelang kampanye Pemilu 1955, jabatan tersebut ditinggalkan, dan mulai aktif di partai NU. Dalam hal ini beliau menyatakan: “Tenaga saya hanya untuk partai NU… dan di samping itu menulis buku”.
       Pada zaman pemerintahan Soekarno, K.H. Bisri Musthofa duduk sebagai anggota konstituane, anggota MPRS dan Pembantu Menteri Penghubung Ulama. Sebagai anggota MPRS, ia ikut terlibat dalam pengangkatan Letjen Soeharto sebagai Presiden, menggantikan Soekarno dan memimpin do’a waktu pelantikan (Saifullah Ma’shum: 1994, 332).
       Pada masa Orde Baru, K.H. Bisri Musthofa pernah menjadi anggota DPRD I Jawa Tengah hasil Pemilu 1971 dari Fraksi NU dan anggota MPR dari Utusan Daerah Golongan Ulama. Pada tahun 1977, ketika partai Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau menjadi anggota Majelis Syura PPP Pusat. Secara bersamaan, beliau juga duduk sebagai Syuriyah NU wilayah Jawa Tengah (Saifullah Ma’shum: 1994, 333).
        Menjelang Pemilu 1977, K.H. Bisri Musthofa terdaftar sebagai calon nomor satu anggota DPR Pusat dari PPP untuk daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun sayang sekali, Pemilu 1977 berlangsung tanpa kehadiran K.H. Bisri Musthofa. Beliau meninggal dunia seminggu sebelum masa kampanye 24 Februari 1977. Duduknya K.H. Bisri Musthofa sebagai calon utama anggota DPR tersebut memang memberikan bobot tersendiri bagi perolehan suara PPP. Itulah sebabnya, wafatnya beliau dirasakan sebagai suatu musibah yang berat bagi warga PPP.

(dari KyaiPedia):

Kamis, 25 Oktober 2012

Intermeso 27: Sakit Perut Berjamaah



  Tahun 1984, Idul Qurban dan hari Tasyriq, sekolah diliburkan. 
    Atas prakarsa panitia kurban (bukan kurban panitia), pad hari Tasyriq guru-guru mengadakan rihlah ke Ciamis, ke kampung salah seorang guru Darunnajah.          
Guru-guru yang berjumlah 21 orang itu naik dua mobil, satu mobil Hi Ace milik Darunnajah, satu lagi mobil sewa.
    Baru saja mobil memasuki wilayah Tugu, di atas Ciawi, brebet-brebet mobil mogok tidak bisa menanjak. Maklum mobil sewaan membeli bensin eceran, bensin campur, campur air. Setelah sarangan (filter) dibuka, air dibuang, mobil jalan lagi.
    Sampai di Nagrek, istirahat sejenak. Di seberang Masjid "Fa-aina Tadzhabun" rombongan makan siang. Enak juga ikan mas dengan sambal dan lalapan.
    Setelah melalui jalan yang panjang, melalui perkebunan kakao (cokelat), menjelang Maghrib kami sampai di tempat tujuan. Rumahnya besar, di samping masjid, halamannya asri, ditanami rumput jepang. Pemilik rumah ialah Pak Haji yang tokoh masyarakat setempat.
    Ternyata malam itu ada pengajian akbar, penceramahnya ulama' dari Jakarta 
    Menjelang salat Isya', ada pengumuman melalui pengeras suara, bahwa, "Penceramah, ulama' dari Jakarta sudah hadir di tengah-tengah kita".
    Siapa ulama' dari Jakarta? Kami juga bertanya-tanya. Di antara kami juga tidak ada yg menjadi anggota MUI, baik pusat maupun kelurahan.
    Ba'da salat Isya' diumumkan lagi. Masyarakat berbondong-bondong untuk menghadiri pengajian akbar, mereka memasuki masjid, yg lain di halaman dan di jalan.
    Yang dimaksud ulama' Jakarta mungkin guru-guru Darunnajah. Kebetulan di antara kami ada yg sudah terbiasa mengisi khutbah Jumat.
    Malam itu memang ada pengajian akbar dengan penceramah salah seorang rombongan kami. Masyarakat puas, semoga tidak ada yg kecewa.
    Malam hari kami tidur  dibagi-bagi, terpisah  di beberapa kerabat tuan rumah, mengingatkan kita dg peristiwa hijrah, semua kerabat ingin menampung kami.
    Entah karena apa, dini hari antara pk 01.00-03.00 kami terbangun karena sakit perut. Semuanya sakit perut dan mencari kamar mandi.
    Untung saja di Ciamis banyak empang, hanya saja kami tidak tahu di mana letak empangnya, karena kami datang sudah menjelang malam. Lagi pula, malam 12 Dzulhijjah sang rembulan sudah tenggelam di langit barat.
    Menjelang Subuh, secara otomatis kami berkumpul lagi di tempat tuan rumah, semuanya diam sambil memegangi perut masing-masing, seakan sudah paham apa yg telah terjadi.
      Kami tidak tahu penyebabnya, mungkin terlalu banyak makan sambal di Nagrek atau terlalu banyak makan daging kurban di hari Tasyrik. Atau mungkin kedua-duanya. Atau mungkin terkena virus "aji mumpung" (pinjam istilah politik Zaman Reformasi), makan di warung mumpung ada panitia; makan daging sebanyak-banyaknya, mumpung ada, konon sampai habis Tasyrik, daging belum habis; memang beda denga beli sendiri.
    Pagi itu ada yang nyeletuk, "Ulama' Jakarta kok sakit perut semuanya!". Mudah-mudahan tuan rumah dan pengunjung pengajian akbar tidak ada yang tahu masalah ini.
    Setelah makan pagi dengan agak malas, takut terjadi lagi, perjalanan dilanjutkan, meskipun badan agak lemas. 
    Mengunjungi pesantren mertua di desa sebelah. Untung saja rencana pertandingan sepak bola persahabatan ditiadakan. Seandainya dilaksanakan, bisa kebobolan 0-15, karena kami tidak pernah latihan dan baru saja kena "musibah". Bisa jadi ada komentar, "Ulama' Jakarta kok kalah main bola, padahal rumahnya dekat Senayan"
    Mengunjungi Situs Karangmulyan; peninggalan Raja Galuh, raja sebelum Pajajaran; Sungai Citanduy tempat dihanyutkan bayi Ciung Wanara, tempat sabung ayam Ciung Wanara dg ayam raja, dan bekas2 Kerajaan Galuh lainnya.
      Perjalanan menuju pulang, mampir dulu di Pantai Batu Hiu dan Pantai Pangandaran.
      Melewati Bandung Selatan saat malam hari, mengingatkan kami pada sebuah lagu, "Bandung Selatan di Waktu Malam".

Rabu, 24 Oktober 2012

Intermeso 26: Anak Yatimnya Sudah Dewasa



     Idul Adha 1983, Pesantren Darunnajah menerima dan menyalurkan hewan kurban seperti tahun-tahun sebelumnya, di samping juga menjadi pos distribusi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru. Masjid Agung mengirimkan hewan yang sudah dipotong beserta kupon yang akan dibagikan.
    Panitia kurban, selain membagikan daging kurban juga membagikan bingkisan, terutama untuk anak yatim dan miskin yg masih sekolah.
    Sekitar jam 11, pemotongan dan pembungkusan daging sudah selesai, dan panitia sudah memegang daftar nama para mustahik yang dihimpun dari RT-RT sekitar. Maka dipanggillah satu per-satu.
    "Si A dari RT sekian!", maka yg dipanggil maju dengan menyerahkan kupon dan ditukar dengan bungkusan dan bingkisan.
"Si B", juga demikian dan seterusnya, dan sampailah pada Si Fulan dari RT sekian.
    Adalah Si Fulan sudah dipanggil beberapa kali, tetapi tidak juga datang, menyahut pun tidak. Ternyata Si Fulan malu, karena sudah jadi ustadz Darunnajah dan saat itu bertugas sebagai panitia kurban.
    Apakah Pak RT tidak meng-update data yatim? Apakah kalau sudah tamat SLTA juga masih yatim? 
    Sungguh kasihan, yg punya nama malu dan ngumpet di belakang panggung.

Jumat, 12 Oktober 2012

Intermeso 25: Qira'ah Sab'ah dan Ken Arok


            Mungkin Antum masih ingat, waktu kita belajar tahsinul qira'ah di Gedung SD Darunnajah, tahun 2007. Saat itu seorang tutor sedang menjelaskan tentang Qira'ah Sab'ah dan ada peserta yg bertanya, "Bagaimana hukumnya orang membaca Al Quran semacam, 'al kamdu lillahi robbil ngalamin..'"
            Maka tutor menjawab, "Qira'ah sab'ah adalah logat-logat bacaan yg ada  di sekitar Arab pada saat itu. Logat-logat itu disampaikan kepada Nabi dan di-iyakan, sehingag pada saat ini ada tujuh imam qira'ah, 14 perawi dan thariqahnya lebih banyak lagi."
             "Al kamdulillahi robbil ngalamin.. itu qira'ahnya Ken Arok dan Ken Dedes, sedangkan Ken Arok dan Ken Dedes belum pernah bertemu Nabi untuk menyampaikan qira'ahnya."  
            Itu logika yg disampaikan pada saat itu. Memang dimensi waktunya jauh berbeda, Muhammad menjadi Nabi pada tahun 611 sedangkan Ken Arok menjadi raja pada tahun 1222 dan pada saat itu masih Hindu.
            Pernah hal itu saya tanyakan ke doktor qira'ah, Ust Abu 'Alim Muhammad Dzunnuroyn via SMS, jawabnya: "Selama dia belajar dari gurunya begitu shah2 saja. Kalau ia mengerti ada guru yg mengajar lebih fashih dan ia berkesempatan belajar harus belajar, kalau tdk belajar berdosa. Kalau sudah belajar, lidahny tdk bisa sdh kaku tdk papa, yg penting belajar terus! Batu saja bisa legok (cekung) kena tetesan air?"