Minggu, 19 Juli 2015

229: Dibilang Anjing

Dibilang Anjing
Intetmeso 229

Tadi malam sekitar jam 22.30, istri saya mendapat telepon dari seseorang, mengaku seorang polisi.

Polisi itu mengabarkan kalau ponakan istri yang bernama X baru menabrak seorang anak dan disembunyikan di mobil polisi, karena X dikejar-kejar keluarga korban.

Polisi tadi menawarkan jalur damai atau jalur hukum. Maka istri minta waktu untuk bermusyawarah dengan keluaga.

HP diberikan kepada saya dan yang mengaku polisi tadi mengulang penawaran, "Bapak mau jalur hukum atau damai?"
Maka saya jawab, "Terserah Bapak mau jalur apa?"
Dia mengulang pertanyaan lagi, "Kok terserah, Bapak paham tidak?, pertanyaan saya"
"Saya paham, maka saya jawab, terserah" jawab saya.

"Polisi" tadi mengulang pertanyaan lagi, "Bapak mau jalur damai atau jalur hukum!?"
Saya jawab lagi, "Jalur hukum, saya siap jalur hukum!!"

Maka dia jawab lagi, "Bapak ini anjing!!!"

Saya jawab lagi, "Kalau saya anjing!, terus Bapak apa?!"

Dan suara HP di seberang sana mati. Ha ha ha..., plong, saya lega.

Memang ketika saya mulai mengangkat HP, istri membisiki saya, "Pak, itu penipuan, X ada di rumah, lagi tidur.

Kebetulan di rumah daya saat itu lagi banyak orang, baru saja selesai menghatamkan Al Quran dalam rangka haul mertua saya.

Penipuan seperti itu memang sering terjadi, sehingga kita tidak kaget lagi, tapi kalau pura-pura kaget boleh juga.

Atau kalau saya sabar sedikit, saya pilih jalur damai saja. Pasti akan terjadi tawar-menawar, terus saya tawar 5 ribu rupiah, biar transaksinya lama, itung-itung menghabiskan pulsa dia.

Mau nipu harus modal pulsa dong.

Kamis, 09 Juli 2015

228: Rahasia Peci Hitam

Rahasia Peci Hitam
Intermeso 228

Tahun 1998 saya menunaikan ibadah haji bersama teman saya.

Rombongan haji dari Indonesia pada awal kedatangan umumnya berseragam batik dan yang laki-laki memakai peci hitam, peci nasional.

Baru beberapa hari kemudian para jamaah banyak yang memakai peci putih. Saya juga memakai peci putih. Berbeda dengan teman saya yang satu ini, ia selalu memakai peci hitam.

Ia juga membeli sorban, iqal, dan peci putih, tetapi yang dipakai tetap saja peci hitam. Hanya ketika menjelang pulang, ia memakai peci putih.

Sebenarnya saya sudah lama penasaran, hanya ketika mau pulang, saya sempatkan bertanya, "Kenapa selalu memakai peci hitam?"

Ternyata itu pesan mertuanya, agar selalu memakai peci hitam.

Mertuanya menunaikan ibadah haji pada tahun 1979, waktu itu  Masjid Haram dikuasai pemberontak, di tempat-tempat yang tinggi dan menara masjid ditempatkan para penembak jitu.

Orang-orang yang bersorban atau memakai peci putih ditembaki, tetapi yang pakai peci hitam tidak.

Itulah pengalaman mertua.

Kamis, 21 Mei 2015

Al Quran Langgam Jawa

Penjelasan yang Mencerahkan tentang Al Quran Langgam Jawa

Oleh: Ustadz Nara Ar Raji Rahmata Rabbih, Lc.

Tanggal 20 Mei sudah berlalu, alhamdulilah Indonesia masih aman sentosa. Sekarang sudah waktunya saya menjawab pertanyaan sebagian teman-teman mengenai pembacaan Al-Qur’an dengan langgam daerah yang heboh pada akhir-akhir ini. Dari kemarin saya menahan diri untuk tidak bekomentar apapun di media sosial mengenai langgam. Agar komentar saya tidak menguntungkan pihak manapun, jika saja cerita langgam ini memang sengaja dibuat untuk pengalihan isu aksi 20 Mei.

Beberapa hari ini saya lihat berbagai macam argument yang bertengger ditimeline, baik yang pro ataupun kontra sudah mengeluarkan argumen-argumennya masing-masing. Nah saya tertarik untuk mengkritisi berbagai macam argumen serta sikap yang telah saya baca dan amati dari kemarin.

Pertama, mengenai “Asal langgam yang tujuh/maqamat syarqiyyah yang sering menjadi acuan para qari dunia.”

Jawaban:
Disini memang banyak tejadi perbedaan pendapat dari mana langgam yang tujuh itu berasal. Ada yang berpendapat dari Persia, adapula yang berpendapat dari nenek moyang orang Arab. Perbedaaan pendapat ini tentunya sangat wajar, mengingat tidak ada satupun orang yang mengetahui sejak kapan pastinya ilmu maqamat syarqiah ini ditemukan? Dan siapa orang pertama yang mengajarkannya?

Saya pernah menanyakan hal ini kepada salah seorang Syeikh di Mesir yang mahir dalam bidang maqamat, saya bertanya, “Sejak kapan maqamat syarqiah ditemukan di dunia??”

Syeikh tersebut menjawab, “Tidak ada yang tahu sejak kapan pastinya maqamat syarqiah tercipta, tapi yang jelas sudah lama sekali, bahkan ada yang mengatakan dari zaman Fir’aun sudah terdapat maqamat syarqiah.”

Dari berbagai macam perbedaan pendapat ini saya setuju dengan teman-teman yang mengatakan bahwa yang dimaksud “Luhun Arab” di hadits Nabi yang sering teman-teman kutip bukanlah tujuh langgam/maqamat syarqiah yang sekarang sering menjadi acuan para qari dunia.

Kedua, Mengenai “Hukum membaca Al-Qur’an dengan menggunakan maqamat syarqiah/tujuh langgam yang masyhur.”

Jawaban:
Sebelum kita membahas apa hukum membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah, alangkah lebih baiknya jika kita bahas dulu apa hukumnya membaca Al-Qur’an dengan langgam yang tujuh/maqamat syarqiah.

Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat.

Pendapat pertama MENGHARAMKAN mutlaqan (tanpa qaid apapun). Mereka beralasan bahwa maqamat syarqiah ini menjadi Zariah (perantara) seorang qari kepada mempermainkan Al-Qur’an dengan mencederai tajwid karena mengikuti irama lagu, baik kesalahan tajwid karena memperpanjang huruf yang harusnya pendek, atau memperpendek huruf yang harusnya panjang ataupun bentuk kesalahan-kesalahan tajwid yang lainnya. Nah pendapat yang pertama ini tentunya mereka menggunakan qaidah “Sadduz Zariah” (antisipasi).

Pendapat kedua:
Mereka MEMBOLEHKAN dengan syarat, yaitu harus benar-benar mengikuti qaidah ilmu tajwid, bukan ilmu tajwid yang mengikuti lagu. Nah, jika saja teman-teman yang pro dengan pendapat yang membolehkan membaca Al-Qur’an menggunakan langgam daerah melihat kepada perbedaan pendapat diatas tentunya tidak akan ada yang ngotot untuk mengatakan boleh dan tidak akan ada pula yang keberatan ketika ada yang mengatakan haram dengan alasan sudah menjadi tradisi daerah dan lain-lain, karena langgam yang tujuh/maqamat syarqiah saja, terdapat ulama yang mengharamkannya, padahal hal ini juga sudah menjadi tradisi bangsa Arab.

Ketiga: Mengenai “Hukum membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa ataupun dengan langgam lainnya yang diluar dari maqamat syarqiah.”

Jawaban:
Sebagaimana kita lihat dari kemarin para pakar sudah ada yang mengomentari hal ini, ada sebagian mereka yang mengharamkan, adapula yang membolehkan.

Saya mengapresiasi kepada teman-teman yang mengharamkan dengan mengambil qaidah “Sadduz zariah” (antisipasi), ditakutkan jika diperbolehkan maka akan banyak langgam yang bermunculan, tidak menutup kemungkinan diantara banyaknya langgam yang akan muncul terdapat langgam yang tidak layak dengan Al-Qur”an, bahkan cendrung merendahkan Al-Qur’an, bayangkan saja jika nanti ada yang membaca Al-Qur’an dengan langgam hip-hop.

Saya menyarankan kepada kelompok yang membolehkan membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah, agar menambahkan “dhawabit-dhawabit” (catatan-catatan) syarat-syarat tertentu dalam pembolehannya, jangan hanya dengan sekedar “dhawabit” (catatan) harus mengikuti qaedah ilmu Tajwid. Ini demi menjaga harkat martabat Al-Qur’an. Jika syaratnya hanya sekedar harus mengikuti ilmu Tajwid saja, maka tidak menutup kemungkinan akan ada pembacaan Al-Qur’an dengan langgam keroncong dengan dalih yang penting sesuai dengan ilmu Tajwid.

Keempat, Mengenai statemen, “Terlalu paranoid jika pengharaman langgam daerah karena takut kepada hal yang belum terjadi, enggak ada juga kali yang mau baca Al-Qur’an dengan langgam dangdut, emang kurang kerjaan apa?”

Jawaban:
Memang hal ini belum terjadi, tapi kita berpikir panjang untuk kedepan, waktu selalu berputar, manusia terus berkembang, gadget yang hari ini keren, lusa akan jadi gadget butut yang bikin minder orang yang memakainya. Secara sosial bisa dikatakan tingkat kreatifitas masyarakat kita lumayan tinggi. Tiga puluh tahun yang lalu mungkin tidak ada satupun orang yang terpikir untuk membuat ritme syair shalawat dengan ritme dangdut, tapi hari ini kita sudah menyaksikan bagaimana tembangSekuntum Mawar Merah punya Rhoma Irama menjadi irama syair shalawat, terlepas pembicaraan layak atau tidaknya untungnya yang dibuat dari tembang dangdut ini hanya berbentuk syi’ir (sajak) bukan Al-Qur’an sehingga tidak terlalu penting kita ributkan.

Jika sekarang ada orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam dangdut kita akan bilang kurang kerjaan, bisa jadi besok lusa malah menjadi kerjaan anak cucu kita. Dari karena itu kita perlu untuk antisipasi atau paling tidak menambahkan syarat-syarat tertentu agar hal ini tidak terjadi.

Kelima: Mengenai statemen, “Yang pentingkan sesuai dengan ilmu tajwid.”

Jawaban:
Statemen seperti ini hanya akan keluar dari orang yang tidak pernah menyelami dunia maqamat syarqiah/lagu yang tujuh atau bahkan bisa jadi buta sama sekali dengan dunia tersebut. Semua orang yang menggeluti dunia maqamat pasti mengetahui betapa susahnya menyeimbangkan antara lagu dan tajwid, antara memikirkan waqaf ibtida yang benar sambil menyesuaikan dengan kemampuan nafas yang dimiliki.

Bayangkan jika anda menyetir mobil, tangan kanan sambil memegang hanphone, tangan kiri sambil memegang tasbih, dikursi belakang ada anak kecil yang bermain-main, di jalan yang padat dengan kecepatan tinggi. Tentunya anda harus bisa membagi konsentrasi dengan baik, jika anda kurang konsentrasi sedikit saja maka akan berhujung dengan kecelakaan.

Begitu juga orang yang membaca Al-Qur’an dengan maqamat secara mujawwad, konsentrasinya terbagi kepada ayat yang dia baca, tajwid, lagu, pengaturan napas.

Saya dari umur delapan tahun sudah bersentuhan dengan dunia maqamat sampai sekarang masih sering salah dalam Tajwid jika saya membaca Al-Qur’an dengan maqamat secara mujawwad, sampai sekarang saya masih belajar bagaimana caranya menyeimbangkan antara tajwid yang benar dengan lagu yang indah serta pengaturan napas yang baik. Jangankan seorang pemula seperti saya, qara qari Internasional yang namanya sudah masyhur ke seantero alam, yang mungkin tidak layak jika saya sebutkan nama-nama mereka, terkadang juga kesusahan untuk menyeimbangkan antara tajwid dan lagu. Hal itu terbukti dengan terdapat kritikan dari ulama-ulama pakar tajwid dunia kepada mereka.

Lima: Mengenai “Video langgam Magribi yang dijadikan penguat atas bolehnya membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah masing-masing.”

Jawaban:
Diantara yang beredar di timeline terdapat langgam magribi yang dijadikan penguat atas bolehnya membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah masing-masing. Saya mencoba untuk mendengarkan agar menghilangkan rasa penasaran saya seperti apa siih langgam Magrib tersebut. Setelah saya dengarkan memang terlihat sekali dari cengkoknya ciri khas magribi tapi langgam tersebut bukanlah langgam Magribi seutuhnya, yang dibaca qari adalah maqam hijaz dan maqam Nahawand yang juga termasuk dari bagian maqamat syarqiah/lagu yang tujuh.

Hal ini sekaligus menjadi jawaban kepada teman-teman yang menjadikan berbeda-bedanya langgam penduduk Negara Timur Tengah untuk menguatkan bahwa membaca Al-Qur”an dengan langgam daerah dibolehkan. Misalnya maqam Hijaz penduduk Arab teluk berbeda dengan maqam Hijaz penduduk Mesir. Perlu diketahui bahwa yang berbeda disini bukanlah langgamnya secara keseluruhan, tapi yang berbeda hanyalah karakter cengkoknnnya. Mayoritas langgam nasyid yang beredar di Timur Tengah saat ini rata-rata dari maqamat syarqiah, hanya ada sedikit nasyid langgam barat yang akhir-akhir ini bermunculan.

Enam: Mengenai “Vonis murtad atau kafir kepada orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah.”

Jawaban:
Vonis murtad atau kafir kepada setiap orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah terlalu gegabah. Janganlah kita saling mengkafirkan, pembahasan takfir sangatlah dalam, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang hanya bisa divonis kafir setelah melalui proses pengadilan dan dinyatakan oleh qadhi bahwa seseorang tersebut sudah keluar dari agama Islam, mengingat besarnya bahaya jika semua orang punya hak untuk mengkafirkan siapapun. Makari kita lihat Syiria, Iraq, Afghanistan, Pakistan, yang porak-poranda, karena perang saudara. Semua itu terjadi bukan hanya karena hasrat politik belaka, tapi juga karena terlalu mudah dalam permasalahan takfir.

Kita tidak dapat memungkiri di Indonesia memang terdapat orang-orang yang anti dengan Arabisasi, sehingga terkesan alergi dengan segala hal yang berbau Arab. Dan kita juga tidak dapat menampik bahwa mereka sangat diuntungkan dengan kasus langgam ini. Padahal memisahkan Islam dengan Arab secara keseluruhan adalah sebuah keniscayaan.

Hal yang tidak boleh kita lupakan pula bisa jadi mereka gencar menyuarakan anti arabisasi sebagai bentuk balasan kepada orang-orang yang memposisikan sunnah yang juga kebetulan menjadi budaya Arab seakan menjadi kewajiban, bahkan ada yang sampai mengintimidasi orang yang tidak mengerjakan. Kita ambil contoh misalnya memakai gamis, semua kita sepakat bahwa memakai gamis bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. tapi tentunya jangan sampai kita mengintimidasi orang yang tidak memakai gamis atau kita posisikan dia seperti orang yang meninggalkan kewajiban shalat. Mari kita ajak manusia kepada agama Allah dengan hikmah, mari kita ajak muslimin untuk menghidupkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. dengan hikmah, bukan dengan memaksa.

Nah disini tugas kita untuk menengahi kedua kelompok ini. Pertama, kelompok yang fokus untuk memaksakan sunnah yang kebetulan berasal dari budaya Arab. Kedua, kelompok yang alergi dengan segala hal yang berbau Arab.

Ketujuh: Mengenai “Pertanyaan teman-teman kepada para masyaikh Al-Azhar dalam kasus ini serta jawaban para Masyaikh.”

Jawaban:
Kita tidak meragukan kapabelitas masyaikh disini tapi yang perlu kita ingat, sehebat- hebatnya keilmuan masyaikh disini tentunya pengetahuan mereka tentang budaya, sosial, politik Indonesia tidak akan sedalam pengetahuan yang jelas-jelas orang Indonesia, yang tumbuh berkembang di Indonesia. Saya yakin jika saja para masyaikh mengetahui bahwa dalam qadiyyah ini bukan hanya permasalahan langgam tapi disini juga terdapat permasalahan lain, seperti politik, budaya, sosial tentu beliau-beliau tidak akan memberikan jawaban kecuali setelah melalui pengkajian yang benar-benar dalam. Nah perantashwirul mas’alah disini sangatlah penting.

Para Masyaikh disini mungkin beliau-beliau tidak mengetahui bahwa langgam yang dipertontonkan kepada Beliau juga dipakai untuk sindenan. Bahkan kemungkinan besar beliau-beliau juga tidak mengetahui apa itu sinden. Di Timur Tengah maqamat syarqiah bukan hanya dipakai untuk membaca Al-Qur’an tapi juga dipakai untuk musik bergenre Arabic. Nah keistimewaan maqamat syarqiah ini walaupun dasarnya mempunyai tujuh maqam tapi variasi-variasinya sampai ratusan bahkan ada yang mengatakan hingga ribuan, sehingga walaupun juga dipakai untuk membaca Al-Qur”an, tashawwur (penggambara) orang yang mendengar tidak akan mentashawwurkan Ummi Kultsum atau Abdul Halim Hafez, karena memang tidak sama persis, yang sama hanya irama dasarnya saja.

Bagi saya yang bukan orang Jawa dan tidak terlalu mengenal budaya Jawa, ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa tashawwur yang ada dipikiran saya adalah sinden, saya tidak tahu apakah hal ini juga berlaku bagi teman-teman yang asli Jawa dan sangat mengenal budaya Jawa. Saking saya ingin mengetahuinya apakah langgam Jawa juga mempunyai banyak variasi seperti maqamat syarqiah, saya coba buka-buka Youtube. Setelah sekitar tujuh sinden berbeda saya dengarkan, saya dengarkan lagi bacaan Al-Qur’an langgam Jawa di Istana Negara, dan saya bandingkan, teryata di telinga saya tetap sama, tak ada beda antara irama yang digunakan Pak Yasser dengan Sinden. Mungkin ditelinga saya saja kali ya, telinga yang jarang mendengar sinden.

Dari karena itu kepada teman-teman yang bertanya kepada para masyaikh kemarin, untuk memahamkan kepada Beliau tashwirul masalah yang sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang, coba tanyakan seperti ini “Syeikh Apa hukumnya membaca Surah ” Wassyamsi wa duhaha” dengan maqam rast versi Ummi Kultsum di lagu “Gannini” atau surah “Wallaili iza yaghsya” dengan maqam Ajam/Jiharkah versi Gannat di lagu “Hubbi Gamid”?”. Jika di Mesir ada qari yang membaca Al-Qur’an dengan dua variasi di atas dalam acara resmi Negara, saya yakin Mesir tidak akan kalah ribut dari kita sekarang, bahkan mungkin lebih geger.
***

Semoga pemerintah kita bisa lebih matang dalam memilah-milih hal baru apa saja yang tidak bikin gaduh masyarakat. Jika saja tempat kejadian langgam ini di keraton Jogja atau di keraton Solo mungkin tidak akan seheboh ini. Tapi karena berhubung kasus ini terjadinya di Istana Negara, akhirnya pembicaraan menjadi panjang. Suka atau tidak suka kita harus mengakui bahwa keributan akhir-akhir ini bukan hanya karena permasalahan agama, bukan hanya karena urusan halal dan haram. Sentimen politik, Suku, Sosial, Tradisi turut ambil bagian dalam melanggengkan keributan ini, baik bagi kubu yang pro ataupun kontra.

Sekian beberapa catatan dari saya, mohon maaf jika ada khilaf. Semoga catatan ini bisa menjadi pendingin dunia persilatan, bukan malah menjadi kayu bakar di tengar kobaran api. Walau pendapat kita dalam kasus ini berbeda-beda. Semoga kita tetap rukun, tetap menjaga silaturrahmi, tetap bersaudara sebagai Umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

http://www.fimadani.com/7-penjelasan-yang-mencerahkan-tentang-al-quran-langgam-jawa

Selasa, 12 Mei 2015

226: Daun Kecibatu

Mencari Daun Kecibatu ke Gunung Lawu
Intermeso 226

Daun kecibeling (strobilanthes crispus) tentu kita sudah paham, jika disedu dengan air dan diminum, bisa mengobati penyakit batu kemih dan batu ginjal.

Konon, daun kecibeling jika dicampur dengan air cucian, piring dan gelas yang dicuci bisa pecah berkeping-keping, karena proses kimiawi, saya sendiri belum pernah mencobanya.

Daun kecibatu lain lagi. Jika dicampur dengan air dan disiramkan ke atas batu, maka batu itu bisa terbelah-belah.

Ada sebuah pesantren sedang menggali sumur bor, tetapi sudah beberapa hari hasilnya sedikit sekali, bisa jadi lobang sumur itu ada batunya. Untuk itu perlu dicari solusi.

Ada informasi kehebatan daun kecibatu tadi. Maka diutuslah seorang santri untuk mencari daun itu di puncak Gunung Lawu.

Pagi-pagi sekali santri itu berangkat, sore menjelang malam baru sampai pada lokasi yang dituju.

Untuk mendapatkan informasi tentang daun kecibatu, bertanyalah kepada orang-orang tua. Dan memang ada tumbuhan yang dimaksud di daerah itu.

Karena sudah malam, dengan obor tumbuhan itu bisa terlihat.

Ada tumbuhan di sela-sela batu. Seakan-akan batu itu terbelah dan pecah karena dorongan tumbuhan tadi. Itulah pohon kecibatu.

Setelah memetik beberapa tangkai, pada malam itu juga santri itu kembali ke pesantren dengan perasaan harap-harap cemas.

Paginya, untaian daun kecibatu tadi diserahkan kepada penaggung jawab sumur bor, dan dicoba.

Daun tadi ditumbuk dan dicampur air, kemudian dimasukkan ke dalam lobang sumur bor.

Hasilnya bagaimana?

Ternyata hasilnya tidak ada. Bor yang kandas di lobang sumur itu masih kandas juga.

Memang, ikhtiar itu hukumnya wajib, tetapi berhasilnya tidak wajib.

Santri tadi juga tidak merasa bersalah, karena petunnjuk dan prosedur sudah dilalui dengan benar. Daun yang dimaksud juga berhasil ditemukan dan di bawa serta.

Jika daun kecibatu tidak bisa memecah batu?, wallahu a'alam.

Senin, 27 April 2015

225: Dari Ulujami ke Ulu Camii

Dari Ulujami ke Ulu Camii
Intermeso 225

Ulujami nama sebuah kelurahan di Jakarta Selatan. Di sana berdiri balai pendidikan pondok pesantren dengan sejumlah unit pendidikan.

Pada awal tahun 1980-an, saya mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Kementerian Agama utusan pesantren di Ulujami.

Para pejabat kementerian pada saat itu, mendengar nama Ulujami, seperti nama yang aneh, bahkan sering diplesetkan nenjadi Ulul Azmi. Terkadang ditambah juga do'a, "Semoga warganya mempunyai sifat-sifat para Rosul-Ulul Azmi.

Pada tahun ini para pimpinan pesantren yang berpusat di Ulujami, mengadakan kunjungan kerja sama ke Turki dan Qatar.

Rombongan sempat mengunjungi Ulu Camii di Adana.

Ulu Camii, ulu artinya tinggi dan camii berarti masjid.

Ulu Camii adalah masjid terbesar dan bersejarah di Bursa. Masjid ini dibangun pada masa Ottoman zaman Sultan Beyazid I pada tahun 1396.

Masjid ini dibangun selama tiga tahun oleh arsitek Ali Neccar.

Masjid ini diapit oleh dua menara tinggi. Di dalamnya terdapat air mancur (sadirvan) yang disediakan untuk berwudlu, yang terletak di tengah bangunan masjid.

Di dalam masjid terdapat 192 kaligrafi yang terkenal pada masa Kesultanan Ottoman yang menghiasi dinding dan langit-langit masjid.

Minggu, 12 April 2015

204: Solidaritas Alumni SD

Solidaritas Alumni SD
Intermeso 204

Tadi malam selepas sholat Isya', ada dua orang alumni SD Darunnajah datang ke rumah, menjenguk anak saya, katanya sakit.

Anak saya yang bungsu sedang duduk di kelas 2 TMI Darunnajah dan tinggal di asrama Pesantren Darunnajah. Dari mana mereka tahu kalau anak saya itu sakit?.

Tadi pagi sekitar jam 11 di depan Gedung Olah Raga (GOR) ada sembilan ibu-ibu wali santri SD Darunnajah, mereka akan datang ke rumah, menjenguk anak saya, yg mereka dengar, anak saya sakit.

Kembali saya bertanya balik, "Ibu-ibu mendengar dari mana?" Tanya saya.

"Tadi jam 7 saya ketemu anak saya sehat-sehat saja, akan pergi olah raga". Di antara mereka ada juga yg membawa tentengan layaknya orang mem-bezoek orang sakit.

Kebetulan saya dan istri saya sedang di depan GOR, baru saja kami hadir pada acara pelepasan guru-guru dan santri yang akan mengikuti program pertukaran guru/santri ke Inggris.

Kebetulan ibu-ibu yang akan bezoek, mereka kenal baik denga istri saya, mereka ialah jama'ah pengajian wali murid SD di Masjid Pusaka.

Karena saya penasaran, anak saya yang tinggal di asrama itu saya panggil pulang dan saya suruh buka facebook-nya.

Ternyata salah seorang teman SD ada yang menulis status, "tolong al fatihah nya buat sahabatku saat sd yg bernama ... yang sedang koma semoga allah angkat penyakit nya disehatkan kembali dan semoga dapat beraktifitas kembali sbagai mana dulu kala #‎alfatihah‬"

Saya bersyukur, anak saya dalam keadaan sehat wal'afiat dan tidak kurang sesuatu apapun.

Supaya berita ini tidak menyebar ke mana-mana maka anak saya, saya suruh menjawab/coment, "sorry bro...., di Pesantren Darunnajah. ane alhamdulillah masih sehat wal,afiat , lain kali jangan membuat berita yang gak jelas, kasihan tuh temen-temen ane yang dah pada dateng kerumah ane, dan ane sedang ngikutin kegiatan di asrama, mendingan kirim alfatihah agar semuanya sehat dan gak ada yang suka iseng, AMIN

12 Okrober 2014

Kamis, 09 April 2015

153 Kosa Kata Malaysia

Kosa Kata Malaysia-Indonesia
Intermeso 153

Perjalanan dari Bandar Nilai ke Gombak sungguh menarik.

Perjalanan menuju tempat silaturrahim alumni Darunnajah malam itu memang mengasyikkan karena banyak pemandangan bagus.  Demikian juga pada saat kami menuju bandara untuk kembali ke Tanah Air.
   
Di kiri-kanan jalan banyak papan nama dan papan petunjuk yg dapat kita baca dan coba kami terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
   
Tulisan ini bukan untuk melecehkan bahasa salah satu saudara kita yg serumpun, tetapi untuk memperluas wawasan dan menambah perbendaharaan bahasa kita.

Balai pelepasan = terminal keberangkatan
Balai pelepasan antar bangsa = terminal keberangkatan luar negeri
Balai Ketibaan = terminal kedatangan
Balai bomba dan penyelamatan = pemadam kebakaran
Bas persiaran = bus pariwisata
Bilik salin lampin = ruang ganti popok
Cermin mata = kaca mata
Dilarang melepasi garisan = dilarang melewati garis
Encik Azis = Tuan Azis
Fakulti pergigian = kedokteran gigi
Gula perang = gula merah
Institut jantung negara = Yayasan Jantung Sehat
Kasut = sepatu
Kakitangan = petugas
Kakitangan lapangan terbang = petugas bandara
Kedai perabot = toko forniture
Kementerian perpelancongan = kementerian pariwisata
Kurangkan laju = kurangi kecepatan
Lorong kecemasan = pintu darurat
Lawatan timbalan = kunjungan balasan
Layanan diri = swalayan
Lampu isyarat = lampu lalu-tintas
Mesin angkat = lift
Peti sejuk = kulkas
Penyaman udara = AC
Pusat darah = Palang merah ...
Plaza tol = gerbang tol
Seronok = menggembirakan
Sehala sahaja = satu arah
Selekongan berbahaya = tikungan berbahaya
Servis tayer = tambal ban
Tandas = WC
Tandas awam = WC umum
Telepon bimbit = HP
Tuntutan bagasi = klaim bagasi
Wakil pengedar = kantor cabang.

Minggu, 22 Maret 2015

Madinah Juga Banjir

Madinah (Juga) Banjir
Intermeso 191

Tadi pagi di Madinah hujan, kata orang pribumi, hujan tadi pagi cukup lebat. Air pun menggenang di mana-mana

Nampak petugas menyedot air di beberapa tempat, termasuk di jalan underpass.

Beberapa mobil "klelep" (tenggelam) di jalan underpass.
   
Kota Nabi yang beriklim subtropis ini jarang turun hujan, setahun paling-paling 5 sampai10 kali.
   
Jika hari hujan, kampus pun otomatis diliburkan, baik hujan air ataupun hujan debu.

Lain di Jakarta, banjir dianggap musibah, tetapi di Madinah, banjir menjadi tontonan. Para keluarga menggelar tikar di pinggir wadi' (lembah) menikmati "indahnya" banjir. 
   
Demikian info dari salah seorang mahasiswa Universitas Islam Madinah yang memandu kami.

Madinah, 28 Januari 2014

Sabtu, 21 Maret 2015

Alumni Ada di Mana-mana

Alumni Ada di Mana-mana
Intermeso 184

Darunnajah memasuki usia 54 tahun, sudah melahirkan banyak alumni.
  
"Di antara keberhasilan Darunnajah, alumninya tersebar di seluruh Indonesia", demikian kalimat yg sering disampaikan Kiai Mahrus Amin.
   
"Ust Mahrus, pergi ke mana saja selalu ketemu alumni. Ke Padang, Pekan Baru, Flores; ketemu alumni", dimikian lanjutnya.
   
Dalam konteks yang berbeda, saya juga sering ketemu alumni, bahkan selalu ketemu alumni.

Di rumah, saya selalu ketemu alumni, karena istri saya alumni, anak pertama alumni, anak kedua alumni, anak ketiga alumni.

Semoga anak ke empat juga alumni.

Rabu, 18 Maret 2015

Selamat dari Arifin Ilham

Ucapan Selamat atas Kesyukuran 54 Tahun Darunnajah
dari K.H. Muhammad Arifin Ilham

"Bismillahirrahmanirrahim
Basya'aAllah keberkahan selalu menyertai Darunnajah.
Amalnya perjuangan, perjalanannya penuh keberuntungan dan insya'aAllah hasilnya "ANNAJAH" kesuksesan, keberuntungan. Amin.

Ttd
Muhammad Arifin Ilham

Jumat, 27 Februari 2015

217: Lupa Nama Alumni

Lupa Nama Alumni
Intermeso 217

Bersyukur, pada tahun 1998 saya bersama teman dapat menunaikan ibadah haji. Meskipun pada tahun itu negeri Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi.

Jama'ah gelombang pertama, langsung menuju Kota Nabi. Selama 9 hari kami melaksanakan sholat Arba'in, yaitu sholat berjama'ah 50 waktu di Masjid Nabawi.

Di hotel kami tinggal, ada dua alumni Darunnajah yang sedang belajar di Universitas Madinah, datang menjenguk kami.

Kami bercerita macam-macam, tentang Darunnajah dan tentang Negara Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi.

Karena asyiknya, sampai saya terlanjur cerita uang saku jamaah haji yang tidak kami terima. Mestinya setiap jamaah haji menerima uang saku 1500 riyal.

Besuknya dua mahasiswa itu datang lagi, membawa dua dus kurma. Setelah kami buka ternyata masing-masing ada amplop dan beberapa lembaran uang riyalnya.

Juli 2012 Pesantren Darunnajah Pusat dan Darunnajah 2 mengirim kotingen pada acara Perkemahan Pramuka Santri Nusantara ke-3 di Batam.

Para pimpinan Darunnajah juga hadir pada acara itu sekaligus menghadiri reuni alumni Darunnajah di Kepulauan Riau.

Adalah alumni Darunnajah yang menjadi anggota dewan di Kepulauan Riau. Ia sibuk menjemput dan memfasilitasi kami.

Karena alumni itu tamatan Madinah dan anak saya baru saja enam bulan di Madinah, maka saya bercerita tentang Madinah.

Juga saya bercerita saat ibadah haji dan berziarah ke kota Suci Madinah. "Saat itu saya dikunjungi dua mahasiswa Madinah, yang satu namanya A dan satu lagi namanya saya lupa".
Maka alumni Madinah tadi menyambung, " Yang satu lagi saya Tadz".

"Subhanalloh, dengan alumni kok lupa." Mungkin karena sudah 14 tahun, jadi lupa.

Saya sering begitu, nama orang mudah lupa, tapi uang riyal tidak lupa.

Kiai Meninggal, Santrinya Habis

Kiai Meninggal, Santrinya Habis

Menghadapi kegiatan Praktik Pengabdian Masyarakat (PPM)  Santri Darunnajah di sebuah kabupaten (sengaja tidak disebutkan) , Kiai Mahrus Amin dijadwalkan menghadap bupati.

Saya ditugasi mendampingi Kiai, malam itu istirahat di penginapan.

Seperti biasanya, sebelum Shubuh beliau mencari masjid terdekat untuk sholat berjamaah bersama masyarakat setempat. Itu cerita sopirnya.

Saya terbangun karena mendengar suara sopirnya sedang wiridan di musholla penginapan.

Selesai sholat Shubuh saya jalan- jalan menghirup udara pagi di halaman penginapan. Dan Kiai Mahrus datang dengan menumpang becak.

Beliau bercerita, baru sholat Shubuh di sebuah masjid di kampung.

Tidak jauh dari situ ada pesantren, berdiri sejak tahun 1920, pimpinannya sudah ganti tiga generasi, jumlah santrinya sudah ribuan.

Pimpinan generasi ketiga meninggal enam bulan yang lalu. Kader penerus tidak ada. Santrinya habis.

4 Desember 2009

Kamis, 26 Februari 2015

217: Lompat Pagar

Lompat Pagar
(Intermeso 217)

K.H. Mahrus Amin mendapat undangan mengisi seminar di sebuah kota (sengaja tidak disebutkan). Beliau didampingi seorang alumni dan dijemput pula alumni asal kota itu.

Kebiasaan Kiai Mahrus sebelum Shubuh sudah bangun dan mencari masjid terdekat.

Di pagi itu beliau didampingi dua alumni mencari masjid, yang terdekat adalah masjid raya.
Ternyata seluruh pintu pagar masjid itu dikunci dan tidak ada satpam yang jaga. Maka dengan dibantu dua alumni, beliau melompati pagar masjid raya.

Singkat cerita empat orang itu sholat Shubuh berjama'ah dengan imam Kiai Mahrus. Apa artinya? Kalau tidak ada tamu yang lompat pagar, setiap Shubuh yang sholat hanya satu orang, artinya dia yang adzan, dia yang iqomat, dan dia pula yang sholat.

Pengalaman Kiai Mahrus sholat di Masjid Raya itu mengilhaminya dan menjadi bahan seminar. Bahan seminar yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari itu, banyak dirubah dalam penyampaiannya.

"Bagaimana hidup ini mau berkah, kalau sholat Shubuhnya tidak berjama'ah."

"Bagaimana sebuah kota akan diberkahi, kalau jama'ah Shubuhnya sepi."

Birrul Walidaini

Birrul Walidaini
Intermeso 196

Umroh kesyukuran 54 Tahun Darunnajah belum lama berlalu, tentu setiap jama'ah mempunyai kenangan masing-masing.
   
Ada delapan alumni TMI Darunnajah yg sedang belajar di Universitas Islam Madinah. Mereka diberi kesempatan untuk menjadi pemandu (kalau tidak mau disebut muthowwif).

Satu mahasiswa di antaranya sedang mudhif, atau istilah yang popiler pada santri Darunnajah, sedang "dimudhifin". Itu mahasiswa yang wajahnya mirip saya.
   
Dalam acara kesyukuran itu, secara pribadi saya juga mensyukuri karunia Allah yang saya terima dan rasakan selama ini, di antaranya pada tahun ini saya dapat menunaikan ibadah umroh, napak tilas ibadah haji tahun 1998.
   
Saya harus bersyukur lagi, anak saya berkesempatan belajar di Universitas Islam Madinah. Sehingga saya didampingi pemandu khusus.

Di luar tugas-tugas kepanitiaan, anak saya selalu memandu saya, dari menunjukkan tempat Harom (Masjid), waktu-waktu yang tepat ke Roudhoh, memandu umroh, sampai jalan-jalan ke Musium Nabi. Tentu ini kesyukuran lagi.
   
Saya selalu dilayani, dari dibuatkan teh manis saat makan, sampai dikawal dan dipandu do'a saat ibadah umroh. Semoga menjadi anak sholeh sebagai harapan setiap orang tua.
   
Hari Jumat, pagi itu kami berdua pergi umroh, mengambil miqot dari Tan'im. Pk 11.00 umroh selesai dan kami lanjutkan sholat Jumat. Kami mendapat tempat di luar Mas'a karena tempat sa'i itu pintu-pintunya sudah ditutup.
     
Mohon maklum, hari Jumat adalah hari libur Saudi, sehingga pukul 10 Masjid Harom sudah penuh.

Kami bersimpuh di bawah terik sinar matahari, di samping proyek perluasan Masjid Harom. Untung saja, saya sudah tahallul, sehinnga sebagian kain ihrom bisa untuk menutup kepala botak saya.
   
Yang dapat giliran khotib pada hari itu Imam Besar dan Khotib Masjid Harom, Dr. Abdurrahman As-Sudais, judulnya Birrul Walidaini. Anak saya yg duduk di samping saya, yang mahasiswa Madinah dan tamatan MAK Darunnajah, pasti paham isi yang disampaikan khotib saat itu. Saya tidak usah pura-pura bertanya, "Apa isi khutbah tadi?".
   
Kembali ke hotel, saya mendengar komentar mahasiswa Madinah yg alumni Gontor, "Khutbahnya bagus sekali",

"Kata Kiai Hasan", maksudnya pimpinan Gontor yang juga sholat Jum'at di Masjid Harom, "Kalau penjelasan birrul walidaini itu dari orang tua, berarti orang tua meminta hak kepada anak, tetapi kalau dari orang lain, berarti memberi tahu kewajiban kepada anak".

Kiai Hasan Abdullah Sahal juga menunaikan ibadah umroh sambil menjenguk putranya yg sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Madinah.
   
Alumni Darunnajah yang asal Mukomuko Bengkulu menambahkan, "Syeikh Sudais mengambil judul itu, karena orang tuanya baru meninggal. Saya juga waktu bapak saya baru meninggal, pakai judul itu", lanjutnya.
   
Mahasiswa asal Mukomuko ini, ayahnya meninggal tahun lalu saat menjelang libur musim panas.

Rabu, 25 Februari 2015

Lupa Melepas Celana Dalam

Lupa Melepas Celana Dalam
Intermeso 194

Dalam rangka Kesyukuran 54 Tahun Darunnajah, Dewan Nazir (Pembina) Yayasan Darunnajah mengadakan Sujud Syukur di Masjid Nabawi dan Masjid Harom.

Setelah ziarah Mekah, jama'ah Umroh Darunnajah sampai di Masjid Ji'ronah. Mereka akan menunaikan ibadah umroh yg kedua.
   
Mereka berwudlu, ganti pakaian ihrom, sholat sunnat, dan kembali ke mobil. Ni'at ihrom dibaca bersama-sama dan mobilpun bergerak meninggalkan Ji'ronah.
   
Rombongan tiba di Mekah, sampai di depan hotel bersamaan dengan iqomat sholat Dhuhur dikomandangkan. Sebagian dari kami ada yg langsung shalat Dhuhur dan sebagian yang lain terus ke hotel. Saya sendiri, sholat kemudian ke hotel. 
   
Rencananya makan siang, karena jam 14.00 kumpul di lobby, ber-sama-sama ke Masjid Harom dan sujud syukur di lantai tiga, kemudian dilanjutkan ibadah umroh.

Sementara itu saya ke kamar mandi dulu, mau pipis. Di situ saya baru sadar kalau dalam keadaan ihrom tidak boleh memakai celana dalam.

Rupanya waktu di Masjid Ji'ronah saya lupa melepas celana dalam. Dengan demikian ihrom saya batal.
   
Ya sudah, mau bagaimana lagi. "Itu dibahas nanti saja setelah acara sujud syukur di Masjid Harom selesai", kata saya kepada anak saya yg siap memandu. Anak saya juga membatalkan ihromnya dan melepas kain ihromnya.
   
Insya'allah setelah kunjungan ke Syu'bah Tahfizh Al-Quran ba'da sholat Maghrib, kami akan umroh lagi dengan mengambil miqot di Tan'im. Semoga dapat terlaksana, dan saya tidak lupa lagi.

Mekah, 30 Januari 2014

Selasa, 24 Februari 2015

Sukses Karena Sepatu

Sukses Karena Sepatu
Intermeso 210

Ini cerita alumni Darunnajah angkatan sekian (sengaja tidak disebutkan), yang juga wali santri Darunnajah. Sebut saja namanya Z.

Saat itu ia masih duduk sebagai santri. Suatu hari adik kelasnya masuk kamarnya, sebut saja namanya A.

"Assalamu'alaikum?" Salam si A.

Rupanya  ia sedang mencari sepatu, ia hendak  latihan, si A memang dikenal aktif dalam kegiatan Pramuka.

"Itu sepatu siapa?" Tanya A.
"Wa'alaikum salam. Ini sepatu saya", jawab Z.

Z memang rajin mencuci sepatu. Sepatu yang sudah bersih itu  ditaruhnya di atas lemari.

"Ini sepatu, saya tukar dengan sepatu saya ya!?",
"Silakan!", jawab Z.

Maka A memakai sepatu yang masih bersih itu dan pergi ke lapangan.

Beberapa tahun kemudian, setelah terjun di masyarakat, si A menjadi muballigh yang sukses, sedangkan Z menjadi bankir di sebuah kabupaten di Serambi Mekah.

Kadang-kadang Z bercanda, "Beliau itu sukses karena sepatu saya".

Bisa jadi sepatu yang A pakai, mengandung barokah, sehingga siapa saja yang pakai akan sukses dalam hidupnya.

Tapi ini cuma bercanda, jangan ditanggapi dengan serius. Jika ada kesamaan inisial, hanya kebetulan saja.

Sopir Taxi dan Malaikat

Sopir Taxi dan Malaikat
Intermeso 164

Kalau Garut dikenal sebagai Kota Dodol, Kudus populer dengan sebutan Kota Jenang. Tetapi kudus juga terkenal dengan pesantren tahfizhnya.
   
Pada suatu hari, saya numpang taxi, untuk mencairkan suasana saya bertanya kepada sopir, "Pak poolnya di mana?" dan juga asal sopir, "Pak, asalnya dari mana?", pak sopir jawab, "Kudus".
     
"Wah, saya punya teman tahfizh dari Kudus, di sana ada pesantren tahfizh ya Pak?".
"Ada, Pesantren mBah Arwani," jawabnya.
     
"Mbah Arwani bagus, tahfizh-nya bagus, qiro'ahnya bagus, tilawah-nya juga bagus", lanjutnya.

Rupanya sopir ini santri juga, gumam saya dalam hati.
   
"Teman saya itu mungkin santrinya mBah Arwani, sekarang imam di Darunnajah", lanjut saya.
   
"Darunnajah berapa santrinya?", tanya pak sopir. "Dua ribu lima ratus!". Jawab saya.
   
"Wah, kalau yang jama'ah 40 orang ada satu malaikat yang turun, kalau 2500, berapa yang turun?" Lanjut pak sopir.
   
Tanpa menjawab dan menghitung pakai kalkulator, saya berfikir dan merenung sendiri. "Kalau saya salat sendirian di kamar, berapa malaikat yg turun?"

Senin, 23 Februari 2015

HP Bukan Pisang

HP bukan Pisang
Intermeso 215

Telepon genggam dibuat pertama pada tahun 1973, tetapi saya melihatnya baru pada tahun 1990.

Pada tahun itu HP beratnya 2 kg dan bentuknya sebesar bata merah. HP itu dilengkapi antena dan dihibungkan dengan baterey sebesar paving blok.

Orang yang sedang menelpon, tangan kirinya memegang HP, dan tangan kanannya menenteng baterey, sambil ber-hallo-hallo dan mondar-mandir. Dia bukan lagi pamer  HP baru, tetapi sedang mencari sinyal yang pas.

Pada tahun 2000-an, bentuk HP sudah lebih kecil. Kira-kira sebesar jagung atau segede pisang. Ada yang bentuknya seperti pisang dan pakai antena.

Ini cerita alumni Darunnajah yang melanjutkan studi ke Negeri Jiran.

Pada suatu hari HP-nya hilang waktu ditinggal ke kamar mandi.

Ketika dicari tidak ketemu maka dicoba nomornya dihubungi dengan HP lain. Terdengar nada panggilnya aktif.

Tidak lama kemudian tetangganya juga mengeluh kehilangan HP. Setelah coba dipanggil juga nada panggilnya aktif.

Maka dengan sungguh-sungguh mencari, beberapa nomor HP yang hilang itu dipanggil dengan beberapa HP, dan samar-samar seperti ada suara dering di atas rumah.

Dengan seksama dan hati-hati nada dering itu diikuti. Akhirnya ditemukan HP itu ada di loteng di atas plafon. Di sana bukan hanya satu HP, tetapi ada beberapa HP, bahkan sebagian ada yang mendapat luka gigitan.

Lantas siapa yang mencuri dan mengumpulkan HP di sana?

Menurut yang punya cerita, HP-HP itu dikumpulkan monyet. Mungkin saja HP itu disangka pisang karena bentuknya memang seperti pisang, bahkan ada yang sempat digigit pula.

Konon di Negeri Jiran itu, monyet termasuk binatang yang dilindungi sehingga bebas berkeliaran ke mana-mana. Tetapi ada yang punya pendapat kalau monyet itu tidak dilindungi, tetapi orang Malaysia tidak sempat mengganggu monyet.

Minggu, 22 Februari 2015

Ustadz "Man Mudarris?"

Ustadz "Man Mudaris"?
Intermeso 213

Pada acara ulang tahun ke-75 K.H. Mahrus Amin yang diselenggarakan di Kalimukti Cirebon tanggal 14 Februari 2015, banyak guru Darunnajah yang hadir. Begitu juga alumni banyak juga yg hadir, terutama alumni angkatan lama.

Setelah acara selesai dan makan siang di Wisma Emak Jamilah, kita banyak ngobrol dengan teman-teman lama, baik itu ustadz maupun alumni.

Bertemu dengan alumni angkatan lama, bagi kami merupakan nostalgia tersendiri. Ada yang wajahnya masih ingat, tetapi namanya lupa, dan sebaliknya.

Ada juga yang wajahnya memang berubah, setidaknya berubah menjadi tua, atau rambutnya sebagian sudah memutih.

Rupanya ada juga alumni yang lupa nama gurunya, kalau wajah mungkin masih ingat.

Ketika teman saya menanyakan, "Antum masih ingat nama saya?, siapa nama saya?"
Alumni itu nampak kebingungan, kalau wajah mungkin masih ingat, tetapi nama rupanya sudah lupa, karena teman saya itu mengajar ketika alumni itu duduk di kelas I.

"Ayo, siapa nama saya?!", desak teman saya itu. Karena terus didesak, alumni itu tidak enak kalau tidak menjawab pertanyaan teman saya itu.

"Antum, Antum Ustadz 'man mudarris'", jawab alumni tadi dengan tenang. Maksudnya, nama teman saya itu Ustadz Man Mudarris.

Kenapa "Man Mudarris?" Rupanya alumni tadi lupa nama yang sesungguhnya, tetapi ingat tugas sehari-hari teman saya itu.

Teman saya itu tugasnya di bagian Penanggulangan Kelas Kosong. Jika bel pergantian jam pelajaran berbunyi, teman saya dan pasukannya akan keliling kelas.

Kalau ada kelas ribut, berarti kelas itu tidak ada gurunya, maka teman saya akan bertanya, "Man Mudarris?". Maka anak-anak akan menjawab, "Ustadz A". Maka dicatatlah Ustadz A mengosongkan kelas atau terlambat hadir.

Besuknya lagi, demikian juga, masuk kelas kosong dan bertanya, "Man mudarris?".

Kamis, 05 Februari 2015

Hadapi MEA, Ponpes Harus Kembangkan Kewirausahaan 04 Pebruari 2015 19:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, 
JAKARTA- Untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN, pondok pesantren (ponpes) harus mempersiapkan diri dengan berbagai macam program. Salah satunya yang penting adalah program yang berorientasi pada penguatan kemandirian pesantren, yakni kewirausahaan. 

Direktur Pesantren Kementerian Agama (Kemenag), Mohsen, mengatakan hal tersebut kepada Republika, Senin (2/2). Melalui program kewirausahaan ini, ia menjelaskan, para santri akan memiliki keterampilan dan kemandirian sehingga mampu mengembangkan berbagai usaha kemandiran ekonomi, misalnya agrobisnis dan agroindustri. 

“Program kewirausahaan ini juga penting untuk memberi kesiapan kepada pesantren agar tidak tergantung kepada pihak lain,” katanya.

Selain program kewirausahaan, lanjut dia, para santri juga harus menguasai keterampilan hidup sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bersaing. “Jadi, di samping memilki kemampuan dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, santri juga harus memiliki keterampilan hidup sebagai bekal mereka untuk bekerja. Jadi, orientasi pada menjawab tantangan persaingan kerja,” ujar Mohsen.

Saat ini, kata dia, Kemenag sedang melakukan pemetaan ponpes untuk menciptakan pemerataan kesempatan. Pemetaan ini dilakukan untuk menggali potensi yang dimiliki tiap pesantren, misalnya ada pesantren bahari, yakni pesantren yang mengangkat potensi kawasan pesisir. 

"Kita sudah mulai tapi belum menyeluruh. Yang sudah baru beberapa. Nanti insya Allah semua pesantren.''

Belum semua siap
Mengenai kesiapan pesantren dalam menghadapi MEA, cendekiawan Muslim sekaligus Pimpinan Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil Albab, Bogor, Didin Hafidhuddin menilai, belum semua pesantren siap. 

Menurut dia, pesantren yang siap menghadapi MEA adalah pesantren yang di dalam kurikulumnya mengajarkan keterampilan hidup dan bahasa asing, selain mengajarkan ilmu syariah. “Keterampilan hidup  itu di antaranya ilmu ekonomi, pertanian, kewirausahaan, dan hal lainnya,” kata Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini, Senin. 

Ia menilai, jika pesantren belum mengajarkan keterampilan dan bahasa asing maka pesantren tersebut akan kesulitan menghadapi MEA 2015. Hal ini karena inti dari MEA adalah kemandirian dan tidak boleh tergantung pada siapapun. Jika seorang santri tidak menguasai bahasa asing, kata dia, maka dia akan ditindas oleh tenaga kerja Malaysia dan negara lainnya yang mampu berbahasa inggirs secara lancar. Pada akhirnya, ia akan menjadi asing di negeri sendiri.

"Sudah ada beberapa pondok pesantren yang sekarang begitu (mengajarkan keterampilan dan bahasa asing). Pesantren inilah yang akan siap menghadapi MEA. Lain halnya jika pesantren itu tidak pernah mengajarkan hal itu, rasanya memang agak berat kalau ada pasar tunggal.''

Sedangkan, pengamat ekonomi Islam Gunawan Yasni berpendapat, agar siap menghadapi MEA, pesantren harus meningkatkan pengajaran ilmu pengetahuan umum terutama dasar-dasar ilmu ekonomi dan teknologi informasi.

Ia menjelaskan, ketika MEA diberlakukan, Indonesia akan menjadi bagian dari pasar bebas ASEAN yang semuanya berkaitan dengan ekonomi, keuangan, dan teknologi informasi. Indonesia akan dimasuki secara liberal oleh produk-produk berteknologi tinggi. 

"Karena itu, pesantren harus lebih concern pada ilmu umum seperti ilmu ekonomi, networking, dan teknologi informasi,” ujarnya. 

Terkait hal itu, Gunawan menyarankan pesantren dan sekolah umum mulai membekali muridnya dengan ilmu ekonomi keuangan dan teknologi informasi di semua jurusan, baik IPA dan IPS.  c83 ed:Wachidah Handasah

Kalajengking dan Katak

Kalajengking dan Katak
Cerita Sebelum Tidur 2:

Suatu saat ketia sedang bepergian, Dzunnun Al Misri melihat kalajengking merayap ke pinggir sungai Nil dengan cepat. 

Dzunnun Al-Mishri mengikutinya karena ingin tahu. Ia ingin mendapat pelajaran dari apa yang ia lihat, bukan apa yang ia dengar.

Ketika kalajengking itu mendekati tepian sungai Nil, tiba-tiba dari dalam sungai muncul seekor katak. Kalajengking langsung menaiki punggung katak itu. Kemudian katak mengantarkannya ke seberang sungai.

Melihat itu, Dzunnun al-Mishri mengambil perahu dan mengejarnya. Sampai di seberang sana, kalajengking itu masih juga berjalan. 

Pada satu tempat di tepian sungai Nil, ada seorang anak muda sedang tertidur lelap.
Tiba-tiba, dari arah yang berlawanan datang seekor ular berbisa yang mau mematuk anak muda itu. 

Belum sampai ular itu sampai pada pemuda itu, kalajengking menyergapnya. 

Terjadilah perkelahian antara kedua binatang itu dan berakhir dengan kekalahan ular. Ular itu mati dijepit kalajengking. 

Setelah itu, kalajengking kembali lagi ke tepian sungai Nil dan muncul lagi katak itu untuk meyeberangkannya ke tempat semula.

Apa yang dapat diperoleh dari pelajaran itu? Dzunnun al-Mishri menyimpulkan, betapa seringnya Allah melindungi kita tanpa kita ketahui. Begitu sayangnya Tuhan kepada kita, sampai ketika kita tidur dan tidak berdaya menghadapi bahaya, Tuhan masih masih melindungi kita.

Rabu, 04 Februari 2015

Khalifah Umar Mencari Menantu

Cerita Sebelum Tidur 1:
Khalifah Umar Mencari Menantu

Pada suatu malam Khalifah Umar bin Khattab melakukan incognito (blusukan) dengan ditemani ajudannya. Di tengah-tengah blusukannya itu, Umar merasakan lelah sehingga memutuskan untuk beistirahat di sebuah tempat.

Pada saat beistirahat, mereka tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan anak gadisnya.

"Wahai anakku, campurkanlah susu yang kamu perah tadi dengan sedikit air," perintah seorang ibu.

Sang gadis merasa heran dengan perintah itu karena baru kali ini ibunya melakukan hal ini. 

Dengan kata-kata yang sangat sopan, si gadis mencoba untuk menolak permintaan ibunya.

"Maaf Ibu, apakah ibu tidak pernah mendengar perintah Amirul Mukminin Umar bin Khattab untuk tidak menjual susu yang dicampur dengan air?" ujar sang gadis.
"Iya, ibu juga pernah mendengar perintah tersebut," jawab si ibu.

Kemudian ibunya berkilah,
"Tetapi, mana ada khalifah sekarang? Apakah dia melihat kita? Ayolah anakku, laksanakanlah perintah ibumu ini, ini juga hanya mencampur sedikit air saja kok."

Sang gadis kali ini terdiam saja. Ia masih belum tahu jalan pikiran ibunya yang dengan rela hati menyuruhnya melakukan kebatilan demi meraup keuntungan. Akan tetapi beberapa saat kemudian sang anak gadis mulai bekata-kata lagi.

Sang gadis berkata, "Dia (khalifah) memang tidak melihat kita, akan tetapi Allah melihat kita dan demi Allah saya tidak akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan melanggar seruan Khalifah Umar bin Khattab untuk selama-lamanya."

Setelah mendengar percakapan gadis dengan ibunya tersebut, Umar dan ajudannya langsung pulag ke rumah.

Sesampainya di rumah, Umar bin Khattab bercerita tentang pengalaman blusukan tadi malam dan meminta putranya, 'Ashim bin Umar untuk menikahi gadis yang salehah tersebut. Ia ingin menjadikan gadis salehah tersebut sebagai menantunya.

Maka menikahlah 'Ashim bin Umar dengan gadis pilihan ayahnya. Dari pernikahan, Umar dikarunia cucu perempuan yang bernama Laila atau yang biasa disebut dengan Ummu Ashim.

Dan dari Ummu Ashim inilah lahir seorang pemimpin yang hebat dan terkenal yang bernama Umar bin Abdul Aziz. Seorang khalifah kelima yang sangat adil, zuhud dan bijaksana.