Sabtu, 10 September 2016

323: Hotel Seribu Aroma

Hotel Seribu Aroma
Intermeso 323

Bersyukur, tahun 1998 saya memenuhi panggilan Nabi Ibrahim, menunaikan ibadah haji.
Di Mekah, kami tinggal di sebuah hotel di jalan Ibrahim Khalilullah.
Hotel setinggi 12 lantai itu dilengkapi 2 lift. Satu lift yang di-setting untuk berhenti pada lantai yang dituju, sedangkan lift satunya lagi di-setting untuk  berhenti di setiap lantai. Maklum pada saat itu, tidak semua jamaah bisa menggunakan lift.
Kira-kira jam 11 siang, saya hendak pergi ke Masjid Haram, menunaikan ibadah shalat Dhuhur.
Saya sudah mandi, sudah wudhu, dan turun dari kamar, kebetulan menggunakan lift yang setiap lantai berhenti.
Lift berhenti, di lantai 11 tercium aroma masakan, turun lagi berhenti di lantai 10, aroma ikan asin.
Turun lagi, lantai 9, aroma membakar terasi udang, dan seterusnya.
Setiap lantai aromanya lain-lain, karena tidak ada kesepakatan hari itu mau masak apa.
Tahun itu masih ada kebijakan jamaah memasak sendiri, dan jamaah kami mayoritas utusan ormas dan sosial keagamaan dari seluruh Indonesia.
Tahun itu ada anjuran; jerigen yang akan diisi air zam-zam agar diisi beras untuk menghemat biaya. M ohon dimaklum tahun itu negara sedang dilanda krisis ekonomi.
Labbaik allahumma labbaik..

321: Sepatu Jebol

Sepatu Jebol
(Intermeso 321)

Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) merupakan  kegiatan ekstrakurikuler yang menjadi kebanggaan para santri.
Setiap tahun pasukan ini dibentuk. Anggota baru ialah mereka santri kelas 4 (atau kelas X) yang baru saja selesai ujian akhir SLTP dan baru naik ke kelas 4.
Seleksi anggota diadakan pada bulan Mei, syarat menjadi anggota antara lain berbadan tinggi.
Maka tidak heran jika di pesantren ada empat Paskibra; kelas 4, kelas 5, kelas 6, dan Paskibra Putri.
Tahun lalu, pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus; 3 Pasukan itu bertugas semuanya. Paskibra kelas 6 bertugas di pesantren,  Paskibra kelas 5 di Kota Tua, dan Paskibra kelas 4 di Senayan.
Tahun ini istimewa, karena ada anak saya yang paling kecil, lulus seleksi Paskibra. Badannya memang cukup tinggi, tetapi kekuatan fisiknya saya meragukan, karena akan menjalani latihan yang cukup berat.
Saya bujuk untuk mundur saja, tetapi ia bersikeras untuk ikut, akhirnya saya mengalah dan saya berbalik untuk mendukungnya.
Latihan demi latihan dijalaninya, bahkan ada latihan khusus yg diadakan di Training Center di Cipanas selama beberapa hari.
Pada hari kelima Idul Fitri, ia harus sudah kembali ke Pesantren, karena ada jadwal latihan, sehingga tiket kereta yg dibeli jauh sebelumnya, saya biarkan hangus.
Latihan intensif terus dilaksanakan, meskipun diselingi batuk-pilek dan sakit panas. Di sini saya usul lagi, agar mundur saja dari Paskibra.
Mengingat ada beberapa teman yg pindah sekolah dan bimbingan khusus; maka izin untuk undur diri, mustahil dikabulkan.
Alhamdulillah, acara pembukaan Pekan Olah Raga berjalan sukses, Pasukan Pengibar Bendera tampil memukau dan berjalan lancar. Sebagai orang tua saya ikut bergembira, meskipun sudah tiga kali bolak balik mengantar berobat ke dokter.
Masih ada acara penting dua kali lagi, yaitu Penutupan Pekan Olah Raga, maka latihan intensif juga terus dilakukan.
Menjelang gladi bersih Penutupan Pekan Olah Raga, yang dijadwalkan besok paginya, sepatunya jebol. Malam itu kakaknya harus cari sepatu, atau setidaknya tukang sol.
Tapi malam sudah jam 21.00, mana ada toko sepatu buka, apa lagi sepatu pakaian harian ABRI, tentu tidak setiap toko sepatu menjualnya.
Paginya gladi berjalan lancar dengan sepatu yg sudah disol. Acara penutupan Pekan Olah Raga berjalan lancar. Ucapan sanjungan dan harapan dari kata sambutan Ketua MPR-RI memberi semangat kepada seluruh santri.
17 Agustus pagi Shubuh sudah berangkat ke Senayan, saya melihat dari foto2 yg dikirim pembimbingnya.
Siangnya ada foto-goto yang sedang tabur bunga di Makam Proklamator di Tanah Kusir.
Sungguh pengalaman yg membanggakan, jerih-payah latihan satu setengah bulan seakan sudah dilupakan. Apa lagi konon diakhiri dengan makan di restoran cepat saji fried chicken (ayam goreng tepung).
Pendidikan cinta tanah air dan semangat bela negara mesti ditanamkan sedini mungkin.

Jumat, 26 Februari 2016

Rhenald Kasali: Jika Ingin Anak-anak Anda Sukses

Prof Rhenald Kasali: Jika Ingin Anak-anak Anda Sukses, Jangan Manjakan Mereka

Serambimata.com – Sebuah tulisan yang menarik dan inspiratif terutama bagi orang tua tentang bagaimana seharusnya mendidik anak. Prof Rhenald Kasali memaparkannya dengan bahasa yang renyah sehingga mudah dicerna dan dipahami. Dikutip dari lamanIslammoderat.com.
Alkisah, seorang mahasiswi mengeluh. Dari SD hingga lulus S-1, ia selalu juara. Namun kini, di program S-2, ia begitu kesulitan menghadapi dosennya yang menyepelekannya. Judul tesisnya selalu ditolak tanpa alasan yang jelas. Kalau jadwal bertemu dibatalkan sepihak oleh dosen, ia sulit menerimanya.
Sementara itu, teman-temannya, yang cepat selesai, jago mencari celah. Ia menduga, teman-temannya yang tak sepintar dirinya itu “ada main” dengan dosen-dosennya. “Karena mereka tak sepintar aku,” ujarnya.
Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tak bisa diatasi, maka masa depan ekonominya pun akan sulit.
Mungkin inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.
Hadiah orangtua
Psikolog Stanford University, Carol Dweck, yang menulis temuan dari eksperimennya dalam buku The New Psychology of Success, menulis, “Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua pada anak-anaknya adalah tantangan”.
Ya, tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustrasi dalam memecahkan masalah, sampai kegagalan “membuka pintu”, jatuh bangun di usia muda. Ini berbeda dengan pandangan banyak orangtua yang cepat-cepat ingin mengambil masalah yang dihadapi anak-anaknya.
Kesulitan belajar mereka biasanya kita atasi dengan mendatangkan guru-guru les, atau bahkan menyuap sekolah dan guru-gurunya. Bahkan, tak sedikit pejabat mengambil alih tanggung jawab anak-anaknya ketika menghadapi proses hukum karena kelalaian mereka di jalan raya.
Kesalahan mereka membuat kita resah. Masalah mereka adalah masalah kita, bukan milik mereka.
Termasuk di dalamnya adalah rasa bangga orangtua yang berlebihan ketika anak-anaknya mengalami kemudahan dalam belajar dibandingkan rekan-rekannya di sekolah.
Berkebalikan dengan pujian yang dibangga-banggakan, Dweck malah menganjurkan orangtua untuk mengucapkan kalimat seperti ini: “Maafkan Ibu telah membuat segala sesuatu terlalu gampang untukmu, Nak. Soal ini kurang menarik. Bagaimana kalau kita coba yang lebih menantang?”
Jadi, dari kecil, saran Dweck, anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.
Saya teringat masa-masa muda dan kanak-kanak saya yang hampir setiap saat menghadapi kesulitan dan tantangan. Kata reporter sebuah majalah, saya ini termasuk “bengal”. Namun ibu saya bilang, saya kreatif. Kakak-kakak saya bilang saya bandel. Namun, otak saya bilang “selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan”.
Begitu memasuki dunia dewasa, seorang anak akan melihat dunia yang jauh berbeda dengan masa kanak-kanak. Dunia orang dewasa, sejatinya, banyak keanehannya, tipu-tipunya. Hal gampang bisa dibuat menjadi sulit. Namun, otak saya selalu ingin membalikkannya.
Demikianlah, hal-hal sepele sering dibuat orang menjadi masalah besar.
Banyak ilmuwan pintar, tetapi reaktif dan cepat tersinggung. Demikian pula kalau orang sudah senang, apa pun yang kita inginkan selalu bisa diberikan.
Panggung Orang Dewasa
Dunia orang dewasa itu adalah sebuah panggung besar dengan unfair treatment yang menyakitkan bagi mereka yang dibesarkan dalam kemudahan dan alam yang protektif.
Kemudahan-kemudahan yang didapat pada usia muda akan hilang begitu seseorang tamat SMU.
Di dunia kerja, keadaan yang lebih menyakitkan akan mungkin lebih banyak lagi ditemui.
Fakta-fakta akan sangat mudah Anda temui bahwa tak semua orang, yang secara akademis hebat, mampu menjadi pejabat atau CEO. Jawabannya hanya satu: hidup seperti ini sungguh menantang.
Tantangan-tantangan itu tak boleh membuat seseorang cepat menyerah atau secara defensif menyatakan para pemenang itu “bodoh”, tidak logis, tidak mengerti, dan lain sebagainya.
Berkata bahwa hanya kitalah orang yang pintar, yang paling mengerti, hanya akan menunjukkan ketidakberdayaan belaka. Dan pernyataan ini hanya keluar dari orang pintar yang miskin perspektif, dan kurang menghadapi ujian yang sesungguhnya.
Dalam banyak kesempatan, kita menyaksikan banyak orang-orang pintar menjadi tampak bodoh karena ia memang bodoh mengelola kesulitan. Ia hanya pandai berkelit atau ngoceh-ngoceh di belakang panggung, bersungut-sungut karena kini tak ada lagi orang dewasa yang mengambil alih kesulitan yang ia hadapi.
Di Universitas Indonesia, saya membentuk mahasiswa-mahasiswa saya agar berani menghadapi tantangan dengan cara satu orang pergi ke satu negara tanpa ditemani satu orang pun agar berani menghadapi kesulitan, kesasar, ketinggalan pesawat, atau kehabisan uang.
Namun lagi-lagi orangtua sering mengintervensi mereka dengan mencarikan travel agent, memberikan paket tur, uang jajan dalam jumlah besar, menitipkan perjalanan pada teman di luar negeri, menyediakan penginapan yang aman, dan lain sebagainya. Padahal, anak-anak itu hanya butuh satu kesempatan: bagaimana menghadapi kesulitan dengan caranya sendiri.
“Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan”.
Dan inilah esensi perekonomian abad ke-21: bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun dalam kondisi seperti itulah sesungguhnya manusia berpikir. Dan ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka, saat pintu-pintu hafalan kita tertutup.
Jadi inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar tapi sulit dalam menghadapi kesulitan.
Maka dari itu, pesan Carol Dweck, dari apa yang saya renungi, sebenarnya sederhana saja: orangtua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya, berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.

Prof Rhenald Kasali: Jika Ingin Anak-anak Anda Sukses, Jangan Manjakan Mereka

Rabu, 24 Februari 2016

284: Pinjam Kartu Mahasiswa

Pinjam Kartu Mahasiswa
Intermeso 284

Di Mesir banyak situs bersejarah peninggalan zaman dulu, bahkan peninggalan Raja Fir'aun juga masih ada.

Pembaca mungkin pernah mendengar: piramida, sphinx, Karnak, Gunung Sinai, Musium Mesir, dsb.

Orang yang berkesempatan mengunjungi Mesir, sangat rugi jika tidak menyempatkan untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu.

Untuk memasuki situs-situs itu, bagi turis dan mahasiswa diberlakukan harga tiket yang berbeda, bahkan bagi turis berlaku tarif 2 kali lipat

Ketika ada International Books Fair, dua orang diutus ke Cairo untuk membeli kitab-kitab untuk perpustakaan.

Mereka menyempatkan diri pula  mengunjungi tempat-tempat bersejarah itu. Supaya bayarnya murah, mereka meminjam kartu mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di sana. Dicari yang wajahnya mirip.

Begitu sampai di pintu masuk, ada yang mencurigakan, masalahnya "turis" itu berjenggot, sedangkan foto di kartu mahasiswa itu dagunya kelimis, meskipun sudah dijawab, "Itu foto zaman dulu!".

Yang kedua, ketika ditanya dengan bahasa Arab, kurang lancar menjawabnya. "Turis" itu sebenarnya lancar berbahasa fashohah (bahasa resmi), sedangkan pertanyaannya pakai bahasa amiyah (bahasa pasaran), maka ketahuanlah bahwa "turis" itu meminjam kartu mahasiswa dan diberlakukan tarif "turis".

Sedangkan "mahasiswa" yang satunya bisa lolos, karena bahasa amiyahnya lancar, karena dulu pernah belajar di Cairo beberapa tahun.

Sabtu, 09 Januari 2016

273: Mie Instan dan Air Keran

Mie Instan dan Air Keran
Intermeso 273

Ini cerita ustadz yang dikirim ke Inggris, mengikuti program pertukaran guru (teacher exchange) dengan salah satu sekolah di Keighley.

Pada tahun ke-9 ini, pengiriman guru dilaksanakan pada bulan Desember, tentu saja di Inggris sedang musim dingin, oleh karena itu kegiatan nyaris hanya mengajar dan pulang ke rumah.

Mereka sudah berpakaian rangkap tujuh, tetapi masih juga terasa dingin.

Seperti layaknya warga setempat,  setiap hari mereka makan roti; pagi makan roti, siang roti, dan malam juga roti. Bagi orang Indonesia, kalau belum makan nasi, perutnya belum kenyang. Apa lagi di musim dingin, tentu lebih cepat lapar.

Suatu malam mereka berdua perutnya lapar, mau cari nasi tentu tidak mungkin. Untung saja maaih ada persediaan mie instan, maka mereka mencari air panas. Mau ke dapur tidak enak karena tinggal di rumah orang.

Tetapi bagaimana caranya mau merebus mie?

Umumnya di Eropa, di kamar mandi tersedia keran panas dan dingin. Air panas itulah yang dipakai menyiram mie instan, maka jadilah mereka menyantap makanan lezat seperti di  Indonesia.

Tentang air keran, tidak ada masalah, kalau toh ada kuman, tentu sudah mati tersiram air panas.

Alhamdulillah, mereka kembali ke Tanah Air dengan sehat, tidak ada yang sakit perut.