Jumat, 27 Februari 2015

217: Lupa Nama Alumni

Lupa Nama Alumni
Intermeso 217

Bersyukur, pada tahun 1998 saya bersama teman dapat menunaikan ibadah haji. Meskipun pada tahun itu negeri Indonesia sedang dilanda krisis ekonomi.

Jama'ah gelombang pertama, langsung menuju Kota Nabi. Selama 9 hari kami melaksanakan sholat Arba'in, yaitu sholat berjama'ah 50 waktu di Masjid Nabawi.

Di hotel kami tinggal, ada dua alumni Darunnajah yang sedang belajar di Universitas Madinah, datang menjenguk kami.

Kami bercerita macam-macam, tentang Darunnajah dan tentang Negara Indonesia yang sedang dilanda krisis ekonomi.

Karena asyiknya, sampai saya terlanjur cerita uang saku jamaah haji yang tidak kami terima. Mestinya setiap jamaah haji menerima uang saku 1500 riyal.

Besuknya dua mahasiswa itu datang lagi, membawa dua dus kurma. Setelah kami buka ternyata masing-masing ada amplop dan beberapa lembaran uang riyalnya.

Juli 2012 Pesantren Darunnajah Pusat dan Darunnajah 2 mengirim kotingen pada acara Perkemahan Pramuka Santri Nusantara ke-3 di Batam.

Para pimpinan Darunnajah juga hadir pada acara itu sekaligus menghadiri reuni alumni Darunnajah di Kepulauan Riau.

Adalah alumni Darunnajah yang menjadi anggota dewan di Kepulauan Riau. Ia sibuk menjemput dan memfasilitasi kami.

Karena alumni itu tamatan Madinah dan anak saya baru saja enam bulan di Madinah, maka saya bercerita tentang Madinah.

Juga saya bercerita saat ibadah haji dan berziarah ke kota Suci Madinah. "Saat itu saya dikunjungi dua mahasiswa Madinah, yang satu namanya A dan satu lagi namanya saya lupa".
Maka alumni Madinah tadi menyambung, " Yang satu lagi saya Tadz".

"Subhanalloh, dengan alumni kok lupa." Mungkin karena sudah 14 tahun, jadi lupa.

Saya sering begitu, nama orang mudah lupa, tapi uang riyal tidak lupa.

Kiai Meninggal, Santrinya Habis

Kiai Meninggal, Santrinya Habis

Menghadapi kegiatan Praktik Pengabdian Masyarakat (PPM)  Santri Darunnajah di sebuah kabupaten (sengaja tidak disebutkan) , Kiai Mahrus Amin dijadwalkan menghadap bupati.

Saya ditugasi mendampingi Kiai, malam itu istirahat di penginapan.

Seperti biasanya, sebelum Shubuh beliau mencari masjid terdekat untuk sholat berjamaah bersama masyarakat setempat. Itu cerita sopirnya.

Saya terbangun karena mendengar suara sopirnya sedang wiridan di musholla penginapan.

Selesai sholat Shubuh saya jalan- jalan menghirup udara pagi di halaman penginapan. Dan Kiai Mahrus datang dengan menumpang becak.

Beliau bercerita, baru sholat Shubuh di sebuah masjid di kampung.

Tidak jauh dari situ ada pesantren, berdiri sejak tahun 1920, pimpinannya sudah ganti tiga generasi, jumlah santrinya sudah ribuan.

Pimpinan generasi ketiga meninggal enam bulan yang lalu. Kader penerus tidak ada. Santrinya habis.

4 Desember 2009

Kamis, 26 Februari 2015

217: Lompat Pagar

Lompat Pagar
(Intermeso 217)

K.H. Mahrus Amin mendapat undangan mengisi seminar di sebuah kota (sengaja tidak disebutkan). Beliau didampingi seorang alumni dan dijemput pula alumni asal kota itu.

Kebiasaan Kiai Mahrus sebelum Shubuh sudah bangun dan mencari masjid terdekat.

Di pagi itu beliau didampingi dua alumni mencari masjid, yang terdekat adalah masjid raya.
Ternyata seluruh pintu pagar masjid itu dikunci dan tidak ada satpam yang jaga. Maka dengan dibantu dua alumni, beliau melompati pagar masjid raya.

Singkat cerita empat orang itu sholat Shubuh berjama'ah dengan imam Kiai Mahrus. Apa artinya? Kalau tidak ada tamu yang lompat pagar, setiap Shubuh yang sholat hanya satu orang, artinya dia yang adzan, dia yang iqomat, dan dia pula yang sholat.

Pengalaman Kiai Mahrus sholat di Masjid Raya itu mengilhaminya dan menjadi bahan seminar. Bahan seminar yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari itu, banyak dirubah dalam penyampaiannya.

"Bagaimana hidup ini mau berkah, kalau sholat Shubuhnya tidak berjama'ah."

"Bagaimana sebuah kota akan diberkahi, kalau jama'ah Shubuhnya sepi."

Birrul Walidaini

Birrul Walidaini
Intermeso 196

Umroh kesyukuran 54 Tahun Darunnajah belum lama berlalu, tentu setiap jama'ah mempunyai kenangan masing-masing.
   
Ada delapan alumni TMI Darunnajah yg sedang belajar di Universitas Islam Madinah. Mereka diberi kesempatan untuk menjadi pemandu (kalau tidak mau disebut muthowwif).

Satu mahasiswa di antaranya sedang mudhif, atau istilah yang popiler pada santri Darunnajah, sedang "dimudhifin". Itu mahasiswa yang wajahnya mirip saya.
   
Dalam acara kesyukuran itu, secara pribadi saya juga mensyukuri karunia Allah yang saya terima dan rasakan selama ini, di antaranya pada tahun ini saya dapat menunaikan ibadah umroh, napak tilas ibadah haji tahun 1998.
   
Saya harus bersyukur lagi, anak saya berkesempatan belajar di Universitas Islam Madinah. Sehingga saya didampingi pemandu khusus.

Di luar tugas-tugas kepanitiaan, anak saya selalu memandu saya, dari menunjukkan tempat Harom (Masjid), waktu-waktu yang tepat ke Roudhoh, memandu umroh, sampai jalan-jalan ke Musium Nabi. Tentu ini kesyukuran lagi.
   
Saya selalu dilayani, dari dibuatkan teh manis saat makan, sampai dikawal dan dipandu do'a saat ibadah umroh. Semoga menjadi anak sholeh sebagai harapan setiap orang tua.
   
Hari Jumat, pagi itu kami berdua pergi umroh, mengambil miqot dari Tan'im. Pk 11.00 umroh selesai dan kami lanjutkan sholat Jumat. Kami mendapat tempat di luar Mas'a karena tempat sa'i itu pintu-pintunya sudah ditutup.
     
Mohon maklum, hari Jumat adalah hari libur Saudi, sehingga pukul 10 Masjid Harom sudah penuh.

Kami bersimpuh di bawah terik sinar matahari, di samping proyek perluasan Masjid Harom. Untung saja, saya sudah tahallul, sehinnga sebagian kain ihrom bisa untuk menutup kepala botak saya.
   
Yang dapat giliran khotib pada hari itu Imam Besar dan Khotib Masjid Harom, Dr. Abdurrahman As-Sudais, judulnya Birrul Walidaini. Anak saya yg duduk di samping saya, yang mahasiswa Madinah dan tamatan MAK Darunnajah, pasti paham isi yang disampaikan khotib saat itu. Saya tidak usah pura-pura bertanya, "Apa isi khutbah tadi?".
   
Kembali ke hotel, saya mendengar komentar mahasiswa Madinah yg alumni Gontor, "Khutbahnya bagus sekali",

"Kata Kiai Hasan", maksudnya pimpinan Gontor yang juga sholat Jum'at di Masjid Harom, "Kalau penjelasan birrul walidaini itu dari orang tua, berarti orang tua meminta hak kepada anak, tetapi kalau dari orang lain, berarti memberi tahu kewajiban kepada anak".

Kiai Hasan Abdullah Sahal juga menunaikan ibadah umroh sambil menjenguk putranya yg sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Madinah.
   
Alumni Darunnajah yang asal Mukomuko Bengkulu menambahkan, "Syeikh Sudais mengambil judul itu, karena orang tuanya baru meninggal. Saya juga waktu bapak saya baru meninggal, pakai judul itu", lanjutnya.
   
Mahasiswa asal Mukomuko ini, ayahnya meninggal tahun lalu saat menjelang libur musim panas.

Rabu, 25 Februari 2015

Lupa Melepas Celana Dalam

Lupa Melepas Celana Dalam
Intermeso 194

Dalam rangka Kesyukuran 54 Tahun Darunnajah, Dewan Nazir (Pembina) Yayasan Darunnajah mengadakan Sujud Syukur di Masjid Nabawi dan Masjid Harom.

Setelah ziarah Mekah, jama'ah Umroh Darunnajah sampai di Masjid Ji'ronah. Mereka akan menunaikan ibadah umroh yg kedua.
   
Mereka berwudlu, ganti pakaian ihrom, sholat sunnat, dan kembali ke mobil. Ni'at ihrom dibaca bersama-sama dan mobilpun bergerak meninggalkan Ji'ronah.
   
Rombongan tiba di Mekah, sampai di depan hotel bersamaan dengan iqomat sholat Dhuhur dikomandangkan. Sebagian dari kami ada yg langsung shalat Dhuhur dan sebagian yang lain terus ke hotel. Saya sendiri, sholat kemudian ke hotel. 
   
Rencananya makan siang, karena jam 14.00 kumpul di lobby, ber-sama-sama ke Masjid Harom dan sujud syukur di lantai tiga, kemudian dilanjutkan ibadah umroh.

Sementara itu saya ke kamar mandi dulu, mau pipis. Di situ saya baru sadar kalau dalam keadaan ihrom tidak boleh memakai celana dalam.

Rupanya waktu di Masjid Ji'ronah saya lupa melepas celana dalam. Dengan demikian ihrom saya batal.
   
Ya sudah, mau bagaimana lagi. "Itu dibahas nanti saja setelah acara sujud syukur di Masjid Harom selesai", kata saya kepada anak saya yg siap memandu. Anak saya juga membatalkan ihromnya dan melepas kain ihromnya.
   
Insya'allah setelah kunjungan ke Syu'bah Tahfizh Al-Quran ba'da sholat Maghrib, kami akan umroh lagi dengan mengambil miqot di Tan'im. Semoga dapat terlaksana, dan saya tidak lupa lagi.

Mekah, 30 Januari 2014

Selasa, 24 Februari 2015

Sukses Karena Sepatu

Sukses Karena Sepatu
Intermeso 210

Ini cerita alumni Darunnajah angkatan sekian (sengaja tidak disebutkan), yang juga wali santri Darunnajah. Sebut saja namanya Z.

Saat itu ia masih duduk sebagai santri. Suatu hari adik kelasnya masuk kamarnya, sebut saja namanya A.

"Assalamu'alaikum?" Salam si A.

Rupanya  ia sedang mencari sepatu, ia hendak  latihan, si A memang dikenal aktif dalam kegiatan Pramuka.

"Itu sepatu siapa?" Tanya A.
"Wa'alaikum salam. Ini sepatu saya", jawab Z.

Z memang rajin mencuci sepatu. Sepatu yang sudah bersih itu  ditaruhnya di atas lemari.

"Ini sepatu, saya tukar dengan sepatu saya ya!?",
"Silakan!", jawab Z.

Maka A memakai sepatu yang masih bersih itu dan pergi ke lapangan.

Beberapa tahun kemudian, setelah terjun di masyarakat, si A menjadi muballigh yang sukses, sedangkan Z menjadi bankir di sebuah kabupaten di Serambi Mekah.

Kadang-kadang Z bercanda, "Beliau itu sukses karena sepatu saya".

Bisa jadi sepatu yang A pakai, mengandung barokah, sehingga siapa saja yang pakai akan sukses dalam hidupnya.

Tapi ini cuma bercanda, jangan ditanggapi dengan serius. Jika ada kesamaan inisial, hanya kebetulan saja.

Sopir Taxi dan Malaikat

Sopir Taxi dan Malaikat
Intermeso 164

Kalau Garut dikenal sebagai Kota Dodol, Kudus populer dengan sebutan Kota Jenang. Tetapi kudus juga terkenal dengan pesantren tahfizhnya.
   
Pada suatu hari, saya numpang taxi, untuk mencairkan suasana saya bertanya kepada sopir, "Pak poolnya di mana?" dan juga asal sopir, "Pak, asalnya dari mana?", pak sopir jawab, "Kudus".
     
"Wah, saya punya teman tahfizh dari Kudus, di sana ada pesantren tahfizh ya Pak?".
"Ada, Pesantren mBah Arwani," jawabnya.
     
"Mbah Arwani bagus, tahfizh-nya bagus, qiro'ahnya bagus, tilawah-nya juga bagus", lanjutnya.

Rupanya sopir ini santri juga, gumam saya dalam hati.
   
"Teman saya itu mungkin santrinya mBah Arwani, sekarang imam di Darunnajah", lanjut saya.
   
"Darunnajah berapa santrinya?", tanya pak sopir. "Dua ribu lima ratus!". Jawab saya.
   
"Wah, kalau yang jama'ah 40 orang ada satu malaikat yang turun, kalau 2500, berapa yang turun?" Lanjut pak sopir.
   
Tanpa menjawab dan menghitung pakai kalkulator, saya berfikir dan merenung sendiri. "Kalau saya salat sendirian di kamar, berapa malaikat yg turun?"

Senin, 23 Februari 2015

HP Bukan Pisang

HP bukan Pisang
Intermeso 215

Telepon genggam dibuat pertama pada tahun 1973, tetapi saya melihatnya baru pada tahun 1990.

Pada tahun itu HP beratnya 2 kg dan bentuknya sebesar bata merah. HP itu dilengkapi antena dan dihibungkan dengan baterey sebesar paving blok.

Orang yang sedang menelpon, tangan kirinya memegang HP, dan tangan kanannya menenteng baterey, sambil ber-hallo-hallo dan mondar-mandir. Dia bukan lagi pamer  HP baru, tetapi sedang mencari sinyal yang pas.

Pada tahun 2000-an, bentuk HP sudah lebih kecil. Kira-kira sebesar jagung atau segede pisang. Ada yang bentuknya seperti pisang dan pakai antena.

Ini cerita alumni Darunnajah yang melanjutkan studi ke Negeri Jiran.

Pada suatu hari HP-nya hilang waktu ditinggal ke kamar mandi.

Ketika dicari tidak ketemu maka dicoba nomornya dihubungi dengan HP lain. Terdengar nada panggilnya aktif.

Tidak lama kemudian tetangganya juga mengeluh kehilangan HP. Setelah coba dipanggil juga nada panggilnya aktif.

Maka dengan sungguh-sungguh mencari, beberapa nomor HP yang hilang itu dipanggil dengan beberapa HP, dan samar-samar seperti ada suara dering di atas rumah.

Dengan seksama dan hati-hati nada dering itu diikuti. Akhirnya ditemukan HP itu ada di loteng di atas plafon. Di sana bukan hanya satu HP, tetapi ada beberapa HP, bahkan sebagian ada yang mendapat luka gigitan.

Lantas siapa yang mencuri dan mengumpulkan HP di sana?

Menurut yang punya cerita, HP-HP itu dikumpulkan monyet. Mungkin saja HP itu disangka pisang karena bentuknya memang seperti pisang, bahkan ada yang sempat digigit pula.

Konon di Negeri Jiran itu, monyet termasuk binatang yang dilindungi sehingga bebas berkeliaran ke mana-mana. Tetapi ada yang punya pendapat kalau monyet itu tidak dilindungi, tetapi orang Malaysia tidak sempat mengganggu monyet.

Minggu, 22 Februari 2015

Ustadz "Man Mudarris?"

Ustadz "Man Mudaris"?
Intermeso 213

Pada acara ulang tahun ke-75 K.H. Mahrus Amin yang diselenggarakan di Kalimukti Cirebon tanggal 14 Februari 2015, banyak guru Darunnajah yang hadir. Begitu juga alumni banyak juga yg hadir, terutama alumni angkatan lama.

Setelah acara selesai dan makan siang di Wisma Emak Jamilah, kita banyak ngobrol dengan teman-teman lama, baik itu ustadz maupun alumni.

Bertemu dengan alumni angkatan lama, bagi kami merupakan nostalgia tersendiri. Ada yang wajahnya masih ingat, tetapi namanya lupa, dan sebaliknya.

Ada juga yang wajahnya memang berubah, setidaknya berubah menjadi tua, atau rambutnya sebagian sudah memutih.

Rupanya ada juga alumni yang lupa nama gurunya, kalau wajah mungkin masih ingat.

Ketika teman saya menanyakan, "Antum masih ingat nama saya?, siapa nama saya?"
Alumni itu nampak kebingungan, kalau wajah mungkin masih ingat, tetapi nama rupanya sudah lupa, karena teman saya itu mengajar ketika alumni itu duduk di kelas I.

"Ayo, siapa nama saya?!", desak teman saya itu. Karena terus didesak, alumni itu tidak enak kalau tidak menjawab pertanyaan teman saya itu.

"Antum, Antum Ustadz 'man mudarris'", jawab alumni tadi dengan tenang. Maksudnya, nama teman saya itu Ustadz Man Mudarris.

Kenapa "Man Mudarris?" Rupanya alumni tadi lupa nama yang sesungguhnya, tetapi ingat tugas sehari-hari teman saya itu.

Teman saya itu tugasnya di bagian Penanggulangan Kelas Kosong. Jika bel pergantian jam pelajaran berbunyi, teman saya dan pasukannya akan keliling kelas.

Kalau ada kelas ribut, berarti kelas itu tidak ada gurunya, maka teman saya akan bertanya, "Man Mudarris?". Maka anak-anak akan menjawab, "Ustadz A". Maka dicatatlah Ustadz A mengosongkan kelas atau terlambat hadir.

Besuknya lagi, demikian juga, masuk kelas kosong dan bertanya, "Man mudarris?".

Kamis, 05 Februari 2015

Hadapi MEA, Ponpes Harus Kembangkan Kewirausahaan 04 Pebruari 2015 19:32 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, 
JAKARTA- Untuk menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN, pondok pesantren (ponpes) harus mempersiapkan diri dengan berbagai macam program. Salah satunya yang penting adalah program yang berorientasi pada penguatan kemandirian pesantren, yakni kewirausahaan. 

Direktur Pesantren Kementerian Agama (Kemenag), Mohsen, mengatakan hal tersebut kepada Republika, Senin (2/2). Melalui program kewirausahaan ini, ia menjelaskan, para santri akan memiliki keterampilan dan kemandirian sehingga mampu mengembangkan berbagai usaha kemandiran ekonomi, misalnya agrobisnis dan agroindustri. 

“Program kewirausahaan ini juga penting untuk memberi kesiapan kepada pesantren agar tidak tergantung kepada pihak lain,” katanya.

Selain program kewirausahaan, lanjut dia, para santri juga harus menguasai keterampilan hidup sehingga mereka memiliki kemampuan untuk bersaing. “Jadi, di samping memilki kemampuan dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, santri juga harus memiliki keterampilan hidup sebagai bekal mereka untuk bekerja. Jadi, orientasi pada menjawab tantangan persaingan kerja,” ujar Mohsen.

Saat ini, kata dia, Kemenag sedang melakukan pemetaan ponpes untuk menciptakan pemerataan kesempatan. Pemetaan ini dilakukan untuk menggali potensi yang dimiliki tiap pesantren, misalnya ada pesantren bahari, yakni pesantren yang mengangkat potensi kawasan pesisir. 

"Kita sudah mulai tapi belum menyeluruh. Yang sudah baru beberapa. Nanti insya Allah semua pesantren.''

Belum semua siap
Mengenai kesiapan pesantren dalam menghadapi MEA, cendekiawan Muslim sekaligus Pimpinan Pesantren Mahasiswa dan Sarjana Ulil Albab, Bogor, Didin Hafidhuddin menilai, belum semua pesantren siap. 

Menurut dia, pesantren yang siap menghadapi MEA adalah pesantren yang di dalam kurikulumnya mengajarkan keterampilan hidup dan bahasa asing, selain mengajarkan ilmu syariah. “Keterampilan hidup  itu di antaranya ilmu ekonomi, pertanian, kewirausahaan, dan hal lainnya,” kata Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini, Senin. 

Ia menilai, jika pesantren belum mengajarkan keterampilan dan bahasa asing maka pesantren tersebut akan kesulitan menghadapi MEA 2015. Hal ini karena inti dari MEA adalah kemandirian dan tidak boleh tergantung pada siapapun. Jika seorang santri tidak menguasai bahasa asing, kata dia, maka dia akan ditindas oleh tenaga kerja Malaysia dan negara lainnya yang mampu berbahasa inggirs secara lancar. Pada akhirnya, ia akan menjadi asing di negeri sendiri.

"Sudah ada beberapa pondok pesantren yang sekarang begitu (mengajarkan keterampilan dan bahasa asing). Pesantren inilah yang akan siap menghadapi MEA. Lain halnya jika pesantren itu tidak pernah mengajarkan hal itu, rasanya memang agak berat kalau ada pasar tunggal.''

Sedangkan, pengamat ekonomi Islam Gunawan Yasni berpendapat, agar siap menghadapi MEA, pesantren harus meningkatkan pengajaran ilmu pengetahuan umum terutama dasar-dasar ilmu ekonomi dan teknologi informasi.

Ia menjelaskan, ketika MEA diberlakukan, Indonesia akan menjadi bagian dari pasar bebas ASEAN yang semuanya berkaitan dengan ekonomi, keuangan, dan teknologi informasi. Indonesia akan dimasuki secara liberal oleh produk-produk berteknologi tinggi. 

"Karena itu, pesantren harus lebih concern pada ilmu umum seperti ilmu ekonomi, networking, dan teknologi informasi,” ujarnya. 

Terkait hal itu, Gunawan menyarankan pesantren dan sekolah umum mulai membekali muridnya dengan ilmu ekonomi keuangan dan teknologi informasi di semua jurusan, baik IPA dan IPS.  c83 ed:Wachidah Handasah

Kalajengking dan Katak

Kalajengking dan Katak
Cerita Sebelum Tidur 2:

Suatu saat ketia sedang bepergian, Dzunnun Al Misri melihat kalajengking merayap ke pinggir sungai Nil dengan cepat. 

Dzunnun Al-Mishri mengikutinya karena ingin tahu. Ia ingin mendapat pelajaran dari apa yang ia lihat, bukan apa yang ia dengar.

Ketika kalajengking itu mendekati tepian sungai Nil, tiba-tiba dari dalam sungai muncul seekor katak. Kalajengking langsung menaiki punggung katak itu. Kemudian katak mengantarkannya ke seberang sungai.

Melihat itu, Dzunnun al-Mishri mengambil perahu dan mengejarnya. Sampai di seberang sana, kalajengking itu masih juga berjalan. 

Pada satu tempat di tepian sungai Nil, ada seorang anak muda sedang tertidur lelap.
Tiba-tiba, dari arah yang berlawanan datang seekor ular berbisa yang mau mematuk anak muda itu. 

Belum sampai ular itu sampai pada pemuda itu, kalajengking menyergapnya. 

Terjadilah perkelahian antara kedua binatang itu dan berakhir dengan kekalahan ular. Ular itu mati dijepit kalajengking. 

Setelah itu, kalajengking kembali lagi ke tepian sungai Nil dan muncul lagi katak itu untuk meyeberangkannya ke tempat semula.

Apa yang dapat diperoleh dari pelajaran itu? Dzunnun al-Mishri menyimpulkan, betapa seringnya Allah melindungi kita tanpa kita ketahui. Begitu sayangnya Tuhan kepada kita, sampai ketika kita tidur dan tidak berdaya menghadapi bahaya, Tuhan masih masih melindungi kita.

Rabu, 04 Februari 2015

Khalifah Umar Mencari Menantu

Cerita Sebelum Tidur 1:
Khalifah Umar Mencari Menantu

Pada suatu malam Khalifah Umar bin Khattab melakukan incognito (blusukan) dengan ditemani ajudannya. Di tengah-tengah blusukannya itu, Umar merasakan lelah sehingga memutuskan untuk beistirahat di sebuah tempat.

Pada saat beistirahat, mereka tidak sengaja mendengar percakapan antara ibu dan anak gadisnya.

"Wahai anakku, campurkanlah susu yang kamu perah tadi dengan sedikit air," perintah seorang ibu.

Sang gadis merasa heran dengan perintah itu karena baru kali ini ibunya melakukan hal ini. 

Dengan kata-kata yang sangat sopan, si gadis mencoba untuk menolak permintaan ibunya.

"Maaf Ibu, apakah ibu tidak pernah mendengar perintah Amirul Mukminin Umar bin Khattab untuk tidak menjual susu yang dicampur dengan air?" ujar sang gadis.
"Iya, ibu juga pernah mendengar perintah tersebut," jawab si ibu.

Kemudian ibunya berkilah,
"Tetapi, mana ada khalifah sekarang? Apakah dia melihat kita? Ayolah anakku, laksanakanlah perintah ibumu ini, ini juga hanya mencampur sedikit air saja kok."

Sang gadis kali ini terdiam saja. Ia masih belum tahu jalan pikiran ibunya yang dengan rela hati menyuruhnya melakukan kebatilan demi meraup keuntungan. Akan tetapi beberapa saat kemudian sang anak gadis mulai bekata-kata lagi.

Sang gadis berkata, "Dia (khalifah) memang tidak melihat kita, akan tetapi Allah melihat kita dan demi Allah saya tidak akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan melanggar seruan Khalifah Umar bin Khattab untuk selama-lamanya."

Setelah mendengar percakapan gadis dengan ibunya tersebut, Umar dan ajudannya langsung pulag ke rumah.

Sesampainya di rumah, Umar bin Khattab bercerita tentang pengalaman blusukan tadi malam dan meminta putranya, 'Ashim bin Umar untuk menikahi gadis yang salehah tersebut. Ia ingin menjadikan gadis salehah tersebut sebagai menantunya.

Maka menikahlah 'Ashim bin Umar dengan gadis pilihan ayahnya. Dari pernikahan, Umar dikarunia cucu perempuan yang bernama Laila atau yang biasa disebut dengan Ummu Ashim.

Dan dari Ummu Ashim inilah lahir seorang pemimpin yang hebat dan terkenal yang bernama Umar bin Abdul Aziz. Seorang khalifah kelima yang sangat adil, zuhud dan bijaksana.